Gubernur Baru BI Harus Lebih Berpihak pada UMKM

Senin, 12 Februari 2018 – 16:30 WIB
Bank Indonesia. Foto: Ilana Adi Perdana/Jawa Pos.Com/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo akan meletakkan jabatannya pada Mei 2018.

Namun, dia masih memiliki kesempatan menjadi gubernur BI lagi. Semuanya bergantung pada kebijakan Presiden Joko Widodo.

BACA JUGA: Misbakhun Ingin Gubernur BI Era Jokowi Steril dari Rezim SBY

Saat ini, empat nama sudah sampai di meja presiden yang karib disapa Jokowi itu.

Mereka adalah Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, mantan Menteri Keuangan Chatib Basri, penjabat Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo, dan Agus.

BACA JUGA: Kadin Minta e-Commerce Beri Porsi Besar untuk Produk Lokal

Tugas gubernur BI periode mendatang juga tidak mudah karena tantangan domestik dan global makin kompleks.

Selain itu, gubernur BI juga diharapkan lebih berpihak pada usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). 

BACA JUGA: Harapan Baru Itu Bernama RUU Kewirausahaan

Sebagai otoritas moneter, perbankan, dan sistem pembayaran, BI tidak saja bertugas menjaga stabilitas moneter.

BI juga bertugas menjaga stabilitas sistem keuangan (perbankan dan pembayaran).

“Keberhasilan BI dalam menjaga stabilitas moneter tanpa diikuti oleh stabilitas sistem keuangan, tidak akan banyak artinya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Stabilitas moneter dan stabilitas keuangan ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan,” kata Founder Indosterling Capital William Henley, Senin (12/2).

Dia menambahkan, peran BI dalam menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan berkaitan erat dengan UMKM.

Sebab, para pelaku usaha membutuhkan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing yang stabil disertai kemudahan dalam mengakses kredit perbankan.

Nilai tukar dan kredit perbankan adalah kunci bagi UMKM. Kestabilan nilai tukar rupiah, terutama terhadap dolar AS (USD), amat dibutuhkan pelaku UMKM.

Sebab, masih banyak UMKM yang mendatangkan bahan baku dari luar negeri. Harga bersaing dan kualitas lebih baik dibandingkan bahan baku lokal jadi alasan.

Misalnya, produk kain tenunan khusus yang diimpor pelaku UMKM di Daerah Istimewa Yogyakarta dari Hong Kong maupun Korea Selatan. 

Instabilitas nilai tukar bakal mengganggu pelaku UMKM yang menggantungkan harapan kepada bahan baku impor. Perencanaan bisnis bisa berantakan.

“Cash flow atau arus kas mereka pun berpotensi berdarah-darah. Muaranya adalah kredit macet karena ketidakmampuan membayar cicilan kredit (dengan catatan pelaku UMKM memperoleh pinjaman dari bank),” tambah William.

Dia menambahkan, jika hal itu terjadi, pelaku UMKM akan dirugikan. Perbankan penyalur pinjaman pun akan menderita.

Sebab, peningkatan rasio kredit macet (non performing loan/NPL) berkorelasi dengan ketidaksehatan sebuah bank. 

Peran BI dalam mendorong UMKM juga tergambar dalam intermediasi perbankan. “Intermediasi secara sederhana dapat diartikan sebagai perantara atau penghubung. Penghubung antara masyarakat yang menyimpan dana dalam berbagai bentuk simpanan dan masyarakat yang membutuhkan dana dalam bentuk kredit,” kata William.

Namun, sesuai dari catatan BI, peran bank dalam mendorong UMKM di tanah air masih belum maksimal.

Indikatornya adalah porsi kredit UMKM perbankan pada tahun lalu hanya berada pada kisaran 15 persen.

Padahal, UMKM merupakan motor utama perekonomian Indonesia. UMKM juga pernah disebut Gubernur BI Agus Martowardojo merupakan kunci penciptaan sumber ekonomi baru di tanah air. 

BI juga mencatat rata-rata pembiayaan UMKM oleh bank di Asia memiliki rasio 11,6 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) dan 18,7 persen terhadap total pembiayaan.

Khusus untuk Indonesia, penyaluran kredit UMKM Indonesia baru sebesar 7,1 persen terhadap GDP.

“Fakta-fakta ini tentu harus menjadi perhatian gubernur BI periode mendatang. Apalagi, kontribusi UMKM terhadap perekonomian dalam negeri semakin meningkat dari tahun ke tahun,” kata William.

Dia menambahkan, peningkatan fungsi intermediasi adalah keniscayaan agar pelaku UMKM dapat berekspansi hingga menembus pasar ekspor.

BI pada periode kepemimpinan Agus juga telah memiliki program pengembangan UMKM sebagai bagian dari pengendalian inflasi.

Bentuknya adalah pengembangan klaster berupa sekelompok UMKM di sektor-sektor penyumbang inflasi. Mulai bawang putih, cabai merah hingga padi. 

Tercatat sudah 169 klaster yang dikembangkan dengan meliputi 20 komoditas ketahanan pangan di 44 Kantor Perwakilan BI.

Klaster-klaster itu memanfaatkan lahan seluas 6.298 hektare dan menyerap 29.250 tenaga kerja.

“Siapa pun yang menjadi gubernur BI  tentunya tak perlu ragu melanjutkan program tersebut. Jangan ada sikap alergi meneruskan kebijakan baik dari pemimpin sebelumnya. Apalagi, inflasi berkorelasi dengan tingkat suku bunga yang jadi bagian dari kebijakan moneter BI,” kata William.

Dia juga berharap gubernur BI pengganti Agus bisa melanjutkan pencapaian periode sebelumnya, termasuk di sektor UMKM.

“Sebab, pada akhirnya, BI harus hadir memberikan kebermanfaatan bagi seluruh masyarakat Indonesia,” tegas William. (jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Inilah Kelebihan Mata Uang Digital


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler