jpnn.com, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) saat ini sedang mengkaji penggunaan mata uang digital. Mata uang digital sama seperti rupiah, tapi tidak mempunyai bentuk fisik logam maupun kertas.
Kendati tidak memiliki bentuk fisik, mata uang digital dapat ditransaksikan secara nontunai.
BACA JUGA: CEO Bitcoin Indonesia: Alat Pembayaran yang Sah Hanya Rupiah
Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan mengapresiasi BI yang mencoba mengkaji mata uang digital.
Sebab, mata uang tersebut dapat menurunkan biaya transaksi. Khususnya di remote area, di mana pendistribusian uang masih sulit dilakukan karena keterbatasan infrastruktur.
BACA JUGA: Belasan Money Changer Bodong Dirazia, Inilah Hasilnya
”Orang di daerah pelosok itu kalau pakai uang biasa kan harus bolak-balik setor uang ke bank. BI pun harus setiap waktu suplai uang kertas ke sana,” ujarnya setelah media briefing Mandiri Investment Forum (MIF) 2018, Kamis (1/2).
”Kalau ada cara supaya di daerah itu bisa pakai mata uang digital, ya enggak perlu pakai uang kertas,” lanjutnya.
BACA JUGA: Awal Tahun, BI Prediksi Tren Inflasi Rendah
Meski demikian, kemudahan bertransaksi dengan mata uang digital juga bergantung pada bentuk dan medium transaksinya. Jika bentuknya mirip kartu uang elektronik, bisa menggunakan mesin electronic data capture (EDC) milik bank.
Apabila bentuknya mirip uang elektronik berbasis server, bisa ditransaksikan lewat ponsel. Misalnya, lewat QR code, SMS, atau uang elektronik seperti UnikQu BNI atau Mandiri e-cash.
Anton menuturkan, bank dan perusahaan telekomunikasi (telko) bisa mendukung transaksi mata uang digital. Sebab, bank dan perusahaan telko telah memiliki infrastruktur yang tersebar meski masih perlu diperluas ke daerah terpencil.
Mengenai keterkaitannya dengan inflasi, hal itu juga bergantung BI mengelompokkan mata uang digital tersebut.
”Apakah uang digital itu nanti terpisah dari uang beredar (rupiah, Red) yang sudah ada atau digabung dalam uang beredar. Kalau dihitung terpisah, seolah-olah uang beredar tidak akan banyak tumbuhnya,” ulasnya.
Dengan mata uang digital, penanganan risiko inflasi bisa lebih mudah karena aliran uang digital lebih cepat terekam oleh bank sentral.
Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Onny Widjanarko mengungkapkan, kajian mengenai mata uang digital dilakukan sejak tahun lalu.
Mata uang digital tetap legal karena BI akan menjadi legal standing-nya. Saat ini BI masih dalam tahap mencari benchmark dari proposal kajian mata uang digital dari bank-bank sentral di negara lain.
Beberapa bank sentral yang juga tengah mengkaji mata uang digital, antara lain, bank sentral di Inggris, Malaysia, dan Singapura.
”Kami melihat cost and benefit-nya seperti apa. Kami juga lihat kesiapan TI, perlindungan konsumen, dan implikasinya pada stabilitas sistem keuangan,” ujar Onny.
Kajian mengenai mata uang digital itu diharapkan selesai pada 2020. (rin/c25/fal)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sri Mulyani Minta Masyarakat Tidak Gunakan Bitcoin
Redaktur & Reporter : Soetomo