Harapan Baru Itu Bernama RUU Kewirausahaan

Sabtu, 03 Februari 2018 – 14:30 WIB
Pekerja UMKM Mona Bersaudara terlihat sibuk melakukan finishing pot berbentuk cangkir yang dicat berwarna merah muda. Foto: Hendrawan Kariman/Riau Pos/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU) Kewirausahaan Nasional sudah memasuki tahapan pembahasan.

Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop dan UKM) sudah menggelar rapat bersama Panitia Khusus (Pansus) Kewirausahaan Nasional di gedung DPR, Rabu (24/1).

BACA JUGA: Tahun Politik Jadi Peluang Emas Pelaku UMKM

Kemenkop dan UKM dipimpin langsung Menteri AAGN Puspayoga. Sementara itu, Pansus Kewirausahaan Nasional diketuai Andreas Eddy Susetyo.

Rapat kerja tersebut merupakan sebuah kemajuan karena RUU Kewirausahaan Nasional telah diajukan sejak 2015.

BACA JUGA: Tiongkok Buka Pintu Lebar, UMKM Indonesia Punya Kans Besar

Namun, sejumlah kendala mengakibatkan pengesahaan RUU ini menjadi UU terus molor. 

Pemerintah memastikan telah melakukan perubahan di dalam pasal-pasal RUU. sehingga jumlah pasal pun berkurang dari 55 menjadi 35.   

BACA JUGA: Pengawasan Sulit, Bea Masuk Intangible Goods Harus Dikaji

Pansus Kewirausahaan Nasional menyambut baik usaha pemerintah. DPR mengharapkan setelah melewati dua kali masa sidang, yaitu 15 Februari dan 27 Februari, RUU ini bisa selesai dan disahkan menjadi UU. 

“Apabila UU Kewirausahaan Nasional resmi disahkan dan ditandatangani Presiden Joko Widodo, apakah tujuannya untuk mendorong kemajuan kewirausahaan Indonesia yang berdaya saing bisa tercapai?” kata Founder Indosterling Capital William Henley, Sabtu (3/1).

Dia menambahkan, salah satu indikator untuk mengetahui tingkat kewirausahaan adalah rasio wirausaha.

William merujuk pada data Kemenkop dan UKM yang mana rasio wirausaha sampai dengan akhir 2016 mencapai 3,1 persen dari jumlah penduduk. Jumlah ini meningkat dibandingkan 2014, yaitu 1,67 persen.

Dengan jumlah penduduk 252 juta jiwa, maka jumlah wirausaha nonpertanian yang menetap mencapai 7,8 juta orang atau 3,1 persen.

Tingkat kewirausahaan Indonesia diklaim telah melampaui dua persen dari populasi penduduk sebagai syarat minimal masyarakat suatu negara akan sejahtera.

“Terlepas dari kenaikan rasio wirausaha, ternyata masih ada pekerjaan rumah. Apabila dibandingkan negara-negara tetangga, rasio wirausaha Indonesia masih lebih rendah,” tambah William.

Dia mencontohkan negara-negara lain memiliki tingkat kewirausahaan yang tinggi.

Misalnya, Malaysia yang sebesar lima persen, Singapura (tujuh persen), Tiongkok (10 persen), Jepang (11 persen), dan Amerika Serikat (12 persen).

Menurut William, hal itu terjadi tidak lepas dari pola pikir (mindset). Sebab, masih banyak masyarakat Indonesia yang berkeinginan menjadi pegawai negeri sipil (PNS).

Bukti konkret dapat dilihat dari pelamar CPNS 2017 yang mencapai 2,433.656 orang dengan memperebutkan 37.138 formasi.

Kalau dirata-ratakan, satu formasi atau jabatan diperebutkan oleh 65,5 pelamar.

Dia pun memahami hal itu. Selama ini, menjadi PNS masih menjadi pilihan utama karena sejumlah faktor.

Mulai faktor gengsi, dorongan keluarga, hingga tunjangan pensiun sebagai jaminan masa tua.

Komponen-komponen ini belum tentu didapat dengan menjadi seorang wirausaha. Sementara itu, karakteristik wirausaha identik dengan risiko tinggi.

“Ini wajar mengingat berusaha tidak selalu menghadirkan kenyamanan yang didapat PNS. Kadang kala kerugian yang didapat. Belum lagi berbagai risiko lain seperti kritikan dari keluarga dan lain sebagainya,” tambah William.

Menurut dia, pemerintah bukan tanpa upaya dalam mendorong pertumbuhan wirausaha. Salah satunya melalui Gerakan Kewirausahaan Nasional (GKN).

Sejak masa pemerintahan Presiden Keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono, wirausaha terus bertumbuh.

Tidak sekadar gerakan. GKN juga ditopang dengan beragam fasilitas pembiayaan. Faktor pembatas utama pertumbuhan wirausaha ini coba diatasi via berbagai program.

Seperti kredit usaha rakyat (KUR) yang dikucurkan kepada pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

“Namun, semua ini belumlah cukup. Keberadaan sebuah UU kewirausahaan dirasa penting. Sebab, tanpa UU, usaha menumbuhkan kewirausahaan secara nasional sulit untuk fokus,” kata William.

Tidak hanya UU, aturan turunan seperti peraturan pemerintah (PP) dan peraturan menteri (permen) juga perlu disiapkan matang-matang.

Setelah UU lahir, hal lain yang tak kalah penting adalah sosialisasi. Sinkronisasi dengan pemangku kepentingan lain seperti kementerian/lembaga di luar Kemenkop dan UKM serta pemerintah daerah (tingkat provinsi, kabupaten, dan kota), juga merupakan sebuah keharusan. 

“Dengan sinergi semua pihak, maka peningkatan rasio wirausaha dapat dicapai. Rasio wirausaha yang meningkat pun tidak akan berarti apa-apa apabila kesejahteraan masyarakat luas tak meningkat,” tegas William. (jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menristekdikti Dorong Virus Wirausahawan Terus Ditularkan


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler