jpnn.com - SURABAYA – Kebijakan lembaga pemeringkat asing Standard & Poor’s (S&P) yang tak kunjung menaikkan rating Indonesia dinilai membutuhkan klarifikasi. Sebab, S&P terus mengubah kriteria penilaian.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus D.W. Martowardojo menyatakan, S&P selama ini terkenal concern dengan situasi fiskal.
BACA JUGA: Layanan Terbaru Indosat Ooredoo, Digital Engagement Center
Karena itu, Indonesia merespons dengan memperbaiki kondisi fiskal dengan menyehatkan APBN 2016 melalui pemangkasan belanja dan perbaikan sejumlah asumsi makro.
’’Indonesia merespons fiskal sangat baik. Sebab, kami sama-sama ikuti penerimaan pajak Indonesia yang mengalami tekanan karena perekonomian global dan harga komoditas belum membaik,’’ ujar Agus.
BACA JUGA: Dorong Pembentukan Badan Khusus Pengatur untuk Genjot Transmisi Listrik
Selain itu, keberhasilan program pengampunan pajak dinilai bisa menjadi catatan yang positif bagi rating Indonesia.
Namun, setelah pemerintah memperbaiki kondisi fiskal, S&P mengganti alasan dengan merujuk pada peningkatan kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) perbankan.
BACA JUGA: Layak Standar Keselamatan, Garuda Siap Lintasi Langit LA
’’Tetapi, kalau sekarang, rating agency menyampaikan ada aspek lain. Saya rasa itu suatu ungkapan yang bergerak. Jadi, targetnya berubah-ubah dan seharusnya tidak begitu,” katanya.
’’Statement yang ingin kami sampaikan adalah sebaiknya mereka tidak punya moving target. Kalau tidak, hal itu terus bergerak dan tidak menunjukkan standar objektif dari institusi tersebut,’’ imbuhnya.
Sebelumnya, Kementerian Koordinator Perekonomian menyampaikan kekecewaan kepada S&P karena tak kunjung menaikkan peringkat investasi Indonesia. Kekecewaan itu ditambah dengan adanya alasan yang berubah-ubah dari S&P dalam menetapkan peringkat.
’’Susah kalau kemudian berganti-ganti. Sebentar bilang fiskal, sebentar bilang NPL. Kalau buat saya pribadi, orang mengubah-ubah alasan itu aneh. Artinya, sudah sekian tahun ya S&P, lama sekali, yang lain kan sudah (menaikkan peringkat Indonesia, Red),’’ tuturnya.
Lembaga pemeringkat Standard & Poor’s (S&P) Rating Services pada Juni lalu belum menaikkan peringkat Indonesia pada level layak investasi atau investment grade.
Rating utang Indonesia masih berada di level BB+ untuk surat utang jangka panjang dan B untuk surat utang jangka pendek.
Alasannya, S&P mengestimasi perbankan di Indonesia mengalami tekanan pertumbuhan dan kualitas kredit.
Hal itu ditunjukkan dengan kenaikan NPL perbankan 3–4 persen di antara total sistem pinjaman pada 2016.
Pada Februari lalu, NPL perbankan hanya 2,9 persen dari total kredit.
S&P memperhatikan kondisi fiskal dengan merujuk pada pertumbuhan defisit anggaran dan kenaikan utang pemerintah. (dee/c16/noe/jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menhub: Kamu Lewat Sini, Jangan...
Redaktur : Tim Redaksi