Gubernur NTT jadi Terlapor di KPK Dalam Kasus Dugaan Korupsi Pantai Pede

Kamis, 18 Mei 2017 – 09:23 WIB
KPK

jpnn.com, JAKARTA - Para mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Manggarai (AMANG) mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa, 16 Mei 2017 untuk melaporkan dugaan tindak pidana korupsi dalam privatisasi Pantai Pede di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

AMANG merupakan organisasi para mahasiswa asal Manggarai, Flores, dari berbagai kampus di Jakarta. Mereka menilai, ada dugaan korupsi dalam proses kerja sama Bangun, Guna, Serah (BOT) pihak Provinsi NTT dengan PT Sarana Investama Manggabar (SIM), perusahan yang diduga milik Ketua DPR RI, Setya Novanto.

BACA JUGA: KPK Pengin Banget DPR Batal Gunakan Angket

Perjanjian BOT itu dengan nomor. 04/SIM/Dirut/V/14 dibuat pada 23 Mei 2014 terkait pengelolaan lahan seluas 31.460 di Pantai Pede, yang terletak di pesisir kota Labuan Bajo, ibu kota Mabar. Daerah yang kini dikembangkan sebagai salah satu daerah destinasi pariwisata prioritas oleh Presiden Joko Widodo.

Dalam laporan yang dibawa ke KPK, disebutkan sejumlah nama yang menjadi terlapor, antara lain Gubernur NTT, Frans Lebu Raya sebagai terlapor I; Bupati Mabar Gusti Dula, sebagai terlapor II; Direktur PT SIM, Heri Pranyoto sebagai terlapor III dan Setya Novanto sebagai terlapor IV.

BACA JUGA: Lepas Dari Jeratan KPK, Mendagri Aktifkan Lagi Bupati Ini

Tindakan keempat orang dinilai memenuhi unsur tindakan pidana korupsi, yakni melawan hukum, menyalahgunakan wewenang, menguntungkan diri sendiri dan pihak lain serta merugikan keuangan negara.

Koordinator AMANG, Arrio Jempau melalui keterangan tertulisnya membeberkan sejumlah dugaan pelanggaran yang ditemukan AMANG:

BACA JUGA: Alami Stagnasi, Novel Besok Jalani Operasi

Menurutnya, Gubernur NTT Frans Lebu Raya telah melanggar ketentuan UU Nomor 8 Tahun 2003. UU itu mewajibkan Pemprov NTT menyerahkan aset miliknya yang ada di Mabar kepada Kabupaten Mabar pasca pembentukan kabupaten itu.

Sementara itu, Bupati Dula memilih abai dengan ketentuan UU itu, di mana ia memilih tunduk dan bertekuk lutut di hadapan Lebu Raya.

“Indikasi kongkalikong dalam perjanjiaan itu makin kentara dengan tidak dimasukkannya sama sekali UU No. 8 Tahun 2003 sebagai bahan pertimbangan dalam dokumen perjanjian kerja sama dengan PT SIM,” kata Arrio.

Lebih lanjut, Arrio menilai PT SIM termasuk masih baru dalam bisnis kepariwisataan, berhubung didirikan dan disahkan sebagai perusahaan yang berbadan hukum pada tahun 2011. Karena itu, perusahan itu, harusnya dipandang belum memiliki jam terbang memadai dalam mengelola barang milik daerah untuk kawasan wisata Labuan Bajo yang bertaraf internasional.

“Tidak ada keterbukaan dari Lebu Raya tentang mekanisme perjanjian ke tangan PT SIM, apakah melalui penunjukan langsung atau melalui mekanisme tender, karena PP No 27 Tahun 2014 mengharuskan mekanisme tender,” katanya.

Dalam kontrak dengan PT SIM, Lebu Raya masih menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) No 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, yang sudah dibatalkan berlakunya, tetapi masih tetap dijadikan landasan dalam pembuatan perjanjian kerja sama. Sementara PP No. 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, tertanggal 24 April 2014, sebagai PP yang menggantikannya tidak dijadikan dasar pertimbangan.
Frans Lebu Raya, juga menggaransi PT SIM bahwa lahan Pantai Pede tidak dalam sengketa dan bebas dari tuntutan hukum pihak manapun. Padahal, Lebu Raya sadar dan tahu bahwa masyarakat dan Pemda Mabar sejak Bupatinya Fidelis Pranda pada tahun 2003 tetap menuntut penyerahan Sertifikat Hak Pakai (SHP) yang dikuasai oleh Gubernur NTT.

Menurutnya, tidak ada klarifikasi tentang perubahan atau penerbitan Sertifikat Hak Pakai/SHP baru dari semula SHP No. 10 dan 11 menjadi SHP No. 3 dan 4 yang dilakukan oleh Gubernur NTT Frans Lebu Raya pada tahun 2012 dengan alasan SHP No. 10 dan SHP No.11 hilang.

PT SIM diizinkan untuk mengubah sertifikat Hak Pakai No.3 dan No.4 yang menjadi sertifikat Hak Guna Bangunan. Selanjutnya sertifikat HGB tersebut dijaminkan kepada lembaga keuangan di Bank. Padahal, PP Nomor 27 Tahun 2014 melarang pihak pengelola menjaminkan obyek yang disewa untuk dijadikan jaminan hutang.

“Tidak adanya penjelasan atau penegasan di dalam perjanjian, apakah telah ada persetujuan DPRD atau tidak dan beban biaya terkait pengurusan ijin-ijin dan lain-lain menjadi beban pihak siapa. Padahal di dalam PP No. 50 tahun 2007, persoalan beban biaya dan persetujuan DPRD mutlak diperlukan karena menyangkut aset daerah yang dijadikan obyek perjanjian,” ujarnya.

Dalam perjanjian, pembayaran uang kontribusi dari PT. SIM dimasukkan melalui Rekening Gubernur NTT Frans Lebu Raya pada Bank NTT Nomor: 001.01.02.001018-7/G. Padahal, ketentuan Undang-Undang mengharuskan pembayarannya itu melalui rekening kas umum daerah.
Dengan mengacu pada poin-poin kejanggalan tersebut, AMANG menilai, ada dugaan kuat para terlapor melakukan tindak pidana korupsi sesuai dengan pasal 2 dan/atau pasal 3 UU Tipikor. Karena itu, sangat beralasan untuk dilakukan penyelidikan dan penyidikan oleh KPK.

“Institusi yang paling bisa diperacaya untuk mengungkap motif, modus dan pola dan dugaan korupsi terkait polemik di Pantai Pede yang dilakukan oleh Lebu Raya, Gusti Dula, PT SIM dan Novanto adalah KPK,” kata Arrio Jempau, kordinator AMANG.

Ia menegaskan, upaya mengusut kasus ini merupakan bagian dari upaya untuk menindak praktek-praktek korupsi di NTT, provinsi yang selalu diposisikan sebagai provinsi terkorup menurut survoi Indonesia Corruption Watch (ICW), tetapi hingga saat ini, belum ada pejabat; Gubernur, Bupati, Walikota, yang masuk penjara.

“Sudah saatnya KPK terlibat langsung untuk menyelesaikan polemik pantai Pede terutama menemukan indikasi korupsi di dalamnya. Dari keterangan terlapor I sampai terlapor IV, diharapkan KPK dapat menemukan siapa saja yang diduga melakukan tindak pidana korupsi,” tegas Ovan Wangkut, Sekjen AMANG.

Aksi dan laporan ini merupakan agenda lanjutan AMANG Jakarta dalam advokasi kasus Pantai Pede - satu-satunya wilayah pesisir di Labuan Bajo yang kini masih bisa diakses bebas oleh publik. Mereka menilai, menolak pembangunan hotel di Pantai Pede adalah bagian dari perjuang untuk memenuhi hak publik terhadap ruang terbuka.

Sebelumnya, AMANG menggelar aksi dan audiensi di Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Di DPP PDIP, AMANG meminta tanggung jawab moral partai berideologi Marhaen tersebut kepada kadernya, Frans Lebu Raya yang tidak menyerahkan pantai Pede ke pemerintah daerah (Pemda) Mabar sebagaimana yang sudah diamanatkan UU.

Sementara di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), AMANG meminta konfirmasi sejauh mana pengawalan pihak Kemendagri terkait surat perintah Menteri Tjhajo Kumolo bernomor 170/3460/SJ yang dikeluarkan pada September 2016 kepada Frans Lebu untuk menyerahkan pantai Pede ke Pemda Mabar. Karena menurut AMANG, surat yang dikeluarkan Mendagri tersebut terkesan bersifat formal administratif belaka.

Terakhir, diskusi yang digelar pada Sabtu, 29 April 2017 di Gedung Margasiswa I Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) membahas dugaan KKN di Pantau Pede.

Dari diskusi tersebut, tokoh-tokoh NTT dan khususnya Manggarai yang hadir memiliki pandangan yang sama bahwa Gubernur NTT Frans Lebu Raya, Bupati Mabar Agustinus Ch. Dula, Direktur PT Sarana Investama Manggabar (SIM) Pranyoto dan Ketua DPR RI Setya Novanto harus dilaporkan ke KPK. Usulan pelaporan ke KPK ini disetujui forum dan ditandai dengan penandatanganan

“Surat Kesepakatan Bersama oleh seluruh peserta dan perwakilan organisasi yang hadir.(fri/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... KPK Masih Yakin Polisi Bisa Ungkap Peneror Novel


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler