jpnn.com, JAKARTA - Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) mendorong anggotanya untuk mengembangkan industri pemanis alternatif pengganti gula untuk mengatasi kelangkaan di pasar.
Pasalnya, dalam sebulan terakhir harga gula naik lumayan tinggi. Dari Rp12 ribu menjadi Rp16 ribu.
BACA JUGA: Sebentar Lagi Ramadan, Gula Pasir Langka di Pasaran
“Ini perlu diantisipasi dengan memperbanyak industri pemanis alternatif pengganti gula. Mendorong pemanis alternatif adalah solusi persoalan gula di Tanah Air,” kata Ketua Kompartemen Pangan DPP HIPPI Bambang Sutrisno, dalam siaran persnya.
Dari berbagai alternatif tersebut, imbuh Bambang, setidaknya terdapat tiga jenis pemanis alternatif yang potensial dikembangkan anggota HIPPI.
BACA JUGA: Ada Gratifikasi Lebaran Berupa 1 Ton Gula Pasir
Pertama, gula kelapa yang saat ini baru diproduksi sekitar 60 ribu ton/tahun. Kedua, gula aren dengan produksi sekitar 40 ribu ton/tahun.
Ketiga adalah gula jagung.
BACA JUGA: Varian Baru Kopi Kangen Padukan Susu Segar, Gula Aren, dan Biskuit Serena
“Selain itu, bisa juga dikembangkan gula stevia yang sudah banyak ditemui di pasaran,” tegas Bambang.
Di sinilah HIPPI menilai pentingnya peran pemerintah dengan mendorong para pengusaha pribumi untuk mengembangkan pemanis alternatif.
“Misalnya saja, dengan memberikan insentif bagi pengusaha pribumi,” tegasnya.
Dorongan untuk mengembangkan pemanis alternatif, menurut Bambang merupakan tuntutan. Pasalnya, kelangkaan gula tahun ini sudah sangat mengkhawatirkan.
Biasanya, siklus harga gula selalu naik pada saat Ramadhan dan Idul Fitri. Namun tahun ini, lanjut Bambang, belum juga Ramadan, tetapi harga gula sudah melambung.
“Mendorong produksi pemanis alternatif adalah solusi terbaik, apalagi Indonesia memiliki lahan yang luas,” kata dia.
Pengembangan pemanis alternatif, menurut Bambang, memang sangat memungkinkan. Pasalnya, dari sekitar 5 juta ton lebih kebutuhan gula nasional per tahun, hanya sekitar 2 juta ton yang bisa dipenuhi dari produksi dalam negeri. Untuk memenuhi sisa kebutuhan tersebut, Pemerintah biasanya melakukan impor gula.
“Padahal, mengatasi defisit kebutuhan gula apalagi ketika gula sedang langka, idealnya bukan dengan impor. Impor gula akan menguras devisa negara,” jelasnya.
Tentang rendahnya produksi gula nasional, Bambang menyoroti industri gula yang tidak efisien. Hal itu bisa dilihat dari angka rendemen tebu yang hanya berkisar 7-8 persen.
Sebagai gambaran, kalau 1 ton tebu digiling, hanya menghasilkan 70 kg gula pasir. Sangat jauh dibandingkan Australia 14% dan Brasil yang bisa mencapai 13%.
“Bahkan dibandingkan Thailand, rendemen kita jauh tertinggal,” kata Bambang.
Beberapa hal, menurut Bambang, menjadi penyebab rendahnya rendemen. Pertama, karena tebu di Indonesia sering telat masuk pabrik. Idealnya dalam waktu 2-3 hari setelah panen, tebu sudah harus digiling.
Tetapi di Indonesia jauh lebih lama dari itu sehingga kadar airnya menjadi jauh berkurang.
“Selain itu, mesin di pabrik gula Indonesia juga sudah tua, ada yang lebih dari 100 tahun,” tandas Bambang.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy