jpnn.com, JAKARTA - Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Airlangga (Unair) Prof. Nur Basuki Minarno menyoroti persidangan kasus Irjen Pol. Teddy Minahasa.
Selama mengikuti persidangan, dia melihat beberapa fakta hukum yang harus diuji lebih lanjut agar kebenaran materiel bisa tercapai.
BACA JUGA: Soroti Pernyataan Irjen Teddy soal Pimpinan Polri, Sahroni: Itu Tuduhan Serius
Salah satunya adalah barang bukti sabu-sabu seberat 5 kilogram yang disebut hendak diperjualkan, bahkan ditukar tawas.
Dia mempertanyakan apakan benar barang bukti yang ditemukan di Jakarta, berasal dari Bukittinggi, Sumatra Barat.
BACA JUGA: Teddy Minahasa Singgung Soal Perusakan CCTV di Kasus Sambo dan KM 50
"Terus, apakah benar terjadi penukaran sabu-sabu dengan tawas?" tanya Prof Nur, dalam keterangannya, Jumat (5/5).
Bukti-bukti surat menunjukkan pemusnahan sabu-sabu sudah terlaksana sesuai dengan prosedur yang berlaku, berita acara pemusnahan, dan dikuatkan dengan beberapa keterangan saksi.
BACA JUGA: JPU Salah Pasal, Praktisi Hukum: Dakwaan Teddy Minahasa Batal
Akan tetapi, keterangan dari eks Kapolres Bukittinggi AKBP Dody Prawiranegara dan Samsul Maarif, sabu-sabu seberat 35 kilogram terdapat 5 kilogram sudah diganti dengan tawas.
"Semestinya dari proses penyidikan sampai dengan penuntutan merupakan tugas penyidik dan penuntut umum untuk membuktikan kebenaran materiel atas asal usul sabu-sabu tersebut. Tidak boleh hanya mendasarkan keterangan terdakwa saja," jelasnya.
Menurut dia, polisi bisa menggali atau melakukan scientific investigation dengan memeriksa di tempat pemusnahan sabu-sabu tersebut.
"Yang saya tahu, senyawa yang ditinggalkan di tempat pemusnahan akan terdapat residunya, jika penyidik mau sebenarnya masih bisa ditelaah secara ilmiah dari bekas pemusnahan karena senyawa sabu-sabu dengan tawas berbeda," beber Prof Nur.
Prof Nur menekankan bahwa pembuktian asal-usul sabu-sabu tidak hanya didasarkan pengakuan saksi tanpa diikuti upaya pembuktian atau alat bukti lain.
"Barangkali ini terobosan hukum karena dalam KUHAP tidak mengatur tentang hal ini, yaitu jika Yang Mulia majelis hakim masih ragu atas kebenaran asal usul sabu tersebut," ujarnya pula.
Dia menuturkan majelis hakim seharusnya melakukan pemeriksaan setempat dengan mengeluarkan penetapan untuk memastikan asal usul barang haram tersebut.
"Yang Mulia Majelis Hakim tentunya tidak menginginkan adanya peradilan sesat karena tidak melakukan penggalian untuk mendapatkan kebenaran materiel," tegas dia.
Dia mengamati setidaknya ada dua alat bukti yang dipertentangkan, yaitu Berita Acara Pemusnahan berikut saksi-saksi diadu dengan keterangan Dody serta Samsul Maarif.
Pertama, Berita Acara Pemusnahan adalah bukti autentik yang tidak mudah dipatahkan/dibantah dengan keterangan saksi saja tanpa ada dukungan alat bukti lainnya. Pembuktian penggunaan saksi mahkota dalam persidangan berpotensi mengaburkan.
Kedua, Dody dan Arief sama-sama terdakwa atau saksi mahkota. Status kedua saksi yang sebagai terdakwa secara naluriah mempunyai kepentingan untuk melakukan pembelaan atas dirinya.
"Dalam hal ini majelis hakim harus benar-benar jeli dan teliti menyikapi atas perbedaan itu. Majelis hakim bisa merujuk dalam Pasal 185 KUHAP," imbuhnya.
Terkait bukti komunikasi berupa chat WhatsApp antar terdakwa Teddy dengan Dody, diakuinya memang bisa dijadikan petunjuk.
Prof Nur menjelaskan bahwa Pasal 86 UU Narkotika tidak dapat dipandang sebagai ketentuan yang berdiri sendiri, akan tetapi harus dikaitkan dengan Pasal 5 dan Pasal 6 UU ITE.
Meski begitu, dia optimistis majelis hakim akan sangat detail dalam mengkaji fakta-fakta hukum di persidangan.
"Dalam ilmu hukum ada dalil in dubio pro reo. Artinya, jika ada keragu-raguan dalam hal memutus suatu perkara, maka haruslah diputuskan yang menguntungkan terdakwa," tuturnya. (jlo/jpnn)
Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh