jpnn.com - Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menyoroti pemberitaan guru honorer di Konawe Selatan bernama Supriyani ditahan atas tuduhan menghukum muridnya berinisial D (6).
Siswa tersebut merupakan anak polisi berpangkat Aipda di Polsek Baito, Konawe Selatan (Konsel), sedangkan Supriyani guru honorer SDN 4 Baito.
BACA JUGA: Ipda Rudy Soik Pengungkap Kasus Mafia BBM Dipecat, Analisis Reza Indragiri: Serbaironi
Kasus dugaan kekerasan terhadap murid itu terjadi 24 April 2024 lalu, dan dilaporkan keluarga siswa ke Polsek Baito 26 April 2024.
Guru honorer yang sedang berproses menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) itu ditahan setelah polisi melimpahkan berkas perkaranya ke Kejaksaan Negeri Konawe Selatan (Konsel) di Andoolo, 16 Oktober 2024.
BACA JUGA: Ini Lho Jabatan dan Tugas Qodari di Istana Kepresidenan
"Anggaplah pemukulan itu terjadi, tetapi sadarkah kepolisian setempat bahwa -mengacu pemberitaan media, cara mereka menangani kasus ini justru bisa melukai hati masyarakat?" kata Reza Indragiri kepada JPNN.com, Selasa (22/10/2024).
Penanganan yang terkesan eksesif terhadap guru tersebut mengingatkan Reza saya pada istilah hyper-criminalization. Yakni, betapa otoritas kepolisian dengan mudahnya melihat peristiwa minor dengan kacamata kriminalitas semata.
BACA JUGA: Penugasan dari Prabowo untuk Prof Stella Christie Terjawab
"Dengan kacamata sedemikian rupa, konteks pendidikan serta-merta pupus. Kemungkinan hukuman guru bertali-temali dengan kenakalan murid pun sirna dari cermatan," tuturnya.
Pakar yang pernah mengajak di STIK/PTIK itu menuturkan, kalau polisi sudah ketagihan menerapkan hyper-criminalization, bakal banyak anggota masyarakat yang dengan sekejap mata akan berstatus sebagai penjahat dan perbuatan mereka dicap sebagai kejahatan.
"Coba jawab, apakah itu akan menenangkan masyarakat dan menekan tindak kriminalitas? Tentu tidak," ujar pakar penyandang gelar MCrim dari University of Melbourne Australia itu.
Lagi pula, lanjut Reza, sebengis apakah, selicik apakah, sebejat apakah, sejahat apakah Bu Guru itu sampai harus dijebloskan ke sel tahanan?
"Apa sesungguhnya tujuan pidana seperti itu? Akan diapakan Bu Guru itu nantinya, terlebih jika dia divonis bersalah?" kata sarjana psikologi dari UGM Yogyakarta itu.
Reza lantas menyinggung komitmen Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang salah satunya terkait restorative justice.
"Coba ingat-ingat komitmen ke-7 Kapolri Listyo Sigit. Betapa Kapolri mewanti-wanti jajarannya untuk mengedepankan restorative justice sebagai solusi. Bukan dengan entengnya membawa persoalan-persoalan minor ke ranah litigasi yang berujung pada penahanan ataupun pemenjaraan," ujarnya.
Menurut Reza, komitmen Kapolri itu seharusnya dipahami sebagai tekad Listyo Sigit agar Polri menomorsekiankan pendekatan punitive apalagi retributive, bahwa Bu Guru harus dibikin sakit, menderita, dan diasingkan agar kapok.
Kalau mau konsekuen, kata Reza, maka Kapolri perlu mengevaluasi pendekatan kerja satuan wilayah (satwil) terkait dalam menangani kasus itu. Apakah mekanisme pengawasan reskrim berjalan sebagaima mestinya? Apakah personel sudah dan fasih menjajaki kemungkinan restorative justice?
"Jika ada pihak-pihak di satwil Polri setempat yang abai akan komitmen Kapolri tadi, dan langsung memproses Bu Guru tersebut dengan litigasi, perlu disikapi dengan sanksi dan edukasi sekaligus," ujarnya.
Melihat kasus itu berdasarkan pemberitaan di media sesuai keterangan guru maupun pihak sekolah, Reza mendorong penyelesaian secara restorative justice.
"Sudahlah. Terapkan restorative justice saja. Kalau perlu penggalangan dana untuk mengganti kerugian yang dialami korban, saya siap berkontribusi atas nama anak-anak saya. Insyaallah," kata Reza Indragiri.(fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam