Guru Kaget saat Tiba-Tiba Digerebek Mucikari

Rabu, 21 Mei 2014 – 07:15 WIB
SEBAR ILMU: Kristiawan mengajar anak-anak di sekitar lokalisasi Dolly. Foto: Khafidlul Ulum/Jawa Pos

jpnn.com - BANYAK anak-anak di sekitar lokalisasi Dolly dan Jarak yang tidak pernah tersentuh kelompok bimbingan belajar. Alasan klasiknya, tidak ada biaya. Tapi, sejak awal April ada program My Home yang dikelola Badan Musyawarah Antar Gereja (Bamag). Sebuah program bimbingan belajar gratis bagi anak-anak kompleks pelacuran.

* * *

BACA JUGA: Anang Hermansyah, Belum Mengerti Gaya Orang Senayan

JALAN Kupang Gunung Timur, salah satu gang di kompleks Lokalisasi Dolly, masih tampak lengang pada pukul 13.30 Sabtu lalu (17/5). Belum ada satu pun wisma yang memutar musik. Hanya terlihat beberapa penjaga duduk-duduk di depan wisma yang pintunya masih tutup.

Setelah 30 menit kemudian, beberapa anak berdatangan. Mereka masuk ke salah satu bangunan di antara wisma-wisma tersebut. Mereka mengayuh sepeda dan sebagian lagi berjalan kaki. Setiap anak juga membawa peranti komplet. Mulai buku, pensil, penghapus, hingga penggaris. Siang itu seorang pria berkaus merah menyambut bocah-bocah tersebut.

BACA JUGA: Geliat Klub-Klub Rugbi Indonesia Mencetak Pemain-pemain Andal

Rumah yang dituju anak-anak itu memang beda. Bangunan berlantai dua tersebut terlihat baru dengan cat abu-abu yang masih cling. Di bagian teras terdapat jajaran kursi. Di bagian dalam, sebuah ruang berukuran sekitar 5,5 x 8 meter disekat menjadi dua ruangan.

Dindingnya ditempeli berbagai gambar. Mulai aneka jenis binatang hingga tokoh kartun imut seperti Hello Kitty. Sebuah papan tulis putih dan meja belajar dengan berbagai gambar menghiasi ruang tersebut.

BACA JUGA: Meiditomo Sutyarjoko, 25 Tahun Kerjakan 21 Proyek Satelit

Kalau rumah-rumah di sekitarnya ditempeli nama wisma –bahkan beberapa dipasangi logo minuman beralkohol–, bangunan itu tidak. Di depannya justru ada spanduk bertulisan, ”Bimbingan Belajar Gratis”.

Ya, itu memang tempat belajar. Pesertanya adalah anak-anak yang tinggal di area prostitusi tersebut. Adalah Kristiawan, si kaus merah itu, yang menjadi koordinator Bimbingan Belajar My Home, nama tempat belajar bareng tersebut.

Siang itu 13 anak datang. Mereka dibagi dua kelompok. Satu kelompok untuk SD kelas VI dan satu kelompok lagi untuk kelas III. ”Siswa yang kelas III ini susulan, seharusnya mereka masuk pagi,” jelas Kristiawan. Khusus untuk kelas VI, mereka langsung diberi satu bundel soal ujian nasional.

Sementara itu, siswa kelas III diminta mengerjakan soal matematika tentang pembagian dan penjumlahan. Soal tersebut sudah tertulis di papan tulis. Jadi, siswa tinggal menyalin di buku dan menjawabnya. ”Sekarang semuanya diam. Tidak boleh ada yang ramai. Ayo, dikerjakan soalnya,” ucap Kristiawan di depan para siswa.

Kristiawan mengawasi anak didiknya. Dia mengamati satu per satu siswa yang sedang mengerjakan soal. Beberapa saat, Anggun Sititursenna Rahmatullah, salah seorang siswa, bertanya karena kesulitan menjawab soal penjumlahan. Dengan telaten, dia mendekati siswa tersebut dan mengarahkannya agar bisa menjawab soal itu.

Senna, sapaan akrab Anggun Sititursenna Rahmatullah, memang mengaku lemah dalam soal tambah-tambahan. Padahal, di sekolah dia sudah diajari. ”Saya masih bingung,” jelas siswa kelas III MI Baitul Ilmi itu. Setelah mendapat arahan, dia kemudian mencoba lagi menjawab soal.

Kristiawan mengatakan, seharusnya siswa kelas III sudah bisa mengerjakan soal pembagian dan penjumlahan. Menurut dia, tidak satu dua anak saja yang mengalami kesulitan. Problem tersebut dialami banyak anak. Itu salah satu PR besar Kristiawan. Kemampuan anak-anak didiknya relatif lebih lemah jika dibandingkan dengan siswa lain. Namun, dia terus berusaha membimbing mereka agar tidak tertinggal dalam pelajaran.

Pukul 15.30 banyak siswa yang sudah selesai mengerjakan soal. Suasana di luar pun mulai hidup. Banyak pintu wisma yang sudah buka. Karyawan wisma mulai bersih-bersih. Ada yang menyapu, mengepel, dan membersihkan kaca. Suara musik juga mulai terdengar.

Jika suasana sudah ramai, siswa tidak bisa lagi konsentrasi dalam belajar. Belajar pun diakhiri pada pukul 16.00. Kondisi saat ini, kata Kristiawan, sedikit berbeda dengan saat awal-awal bimbingan belajar (bimbel) dibuka.

Saat itu musik mulai diputar sejak siang, pukul 13.00. Siswa pun terpaksa belajar dengan mendengarkan musik. ”Banyak pemilik wisma yang belum tahu kalau ada bimbel,” kata dia. Tapi setelah mengetahui, mereka kemudian memaklumi dan tidak memutar musik saat bimbel berlangsung.

Pria yang tinggal di Jalan Alun-Alun Bangunsari itu mengatakan, bimbel tersebut resmi dibuka pada awal April. Kondisi lokalisasi ketika itu sedang memanas. Banyak spanduk penolakan penutupan di sepanjang jalan. Namun, bimbel tetap dibuka. Menurut dia, pembukaan bimbel tidak terkait dengan rencana penutupan lokalisasi.

Sebelum pembukaan wisma dilakukan, pihaknya melakukan survei sebulan. Survei itu berlangsung di sekolah-sekolah di sekitar lokalisasi. Dia aktif sosialisasi kepada guru dan siswa. Brosur pun disebarkan kepada siswa dan wali siswa. Ternyata, respons siswa cukup bagus.

Orang tua pun menyambut baik. Selama ini, orang tua di sekitar lokalisasi ingin memasukkan anaknya ke bimbel, tapi mereka tidak punya biaya. Saat bimbel gratis dibuka, mereka masih ragu-ragu. Apakah bimbel itu betul-betul gratis atau hanya gratis saat awal-awal. ”Sebelumnya kan ada bimbel yang katanya gratis, tapi setelah berjalan, siswa disuruh bayar. Jadi, gratisnya hanya sesaat. Bimbel kami kan gratis terus,” terang pria 35 tahun itu.

Selain ke sekolah dan orang tua, dia juga menyosialisasikan kepada pemilik wisma. Mereka tidak keberatan dengan adanya bimbel tersebut. Menurut ayah satu anak itu, tempat bimbel yang digunakan adalah bekas wisma milik Sumiarsih, mantan mucikari yang dihukum mati karena terlibat pembunuhan Letkol (Mar) Purwanto pada 1987. Bangunan itu dihibahkan kepada Bamag. Sebelumnya, bangunan tersebut adalah klinik, tapi tidak jalan.

Pertama dibuka, hanya ada enam siswa yang mengikuti bimbel. Namun, minggu berikutnya, peserta meningkat menjadi 25 sampai 30 orang. Bahkan, sekarang tercatat 80 siswa ikut bimbel. Peningkatan jumlah siswa itu disebabkan siswa yang sudah ikut bimbel mengabarkan kepada siswa lain bahwa ada bimbel gratis.

Siswa yang ikut bimbel memang rata-rata berasal dari keluarga tidak mampu. Mereka merupakan anak tukang becak, pemulung, pedagang kaki lima, dan penjaga wisma. Ada juga anak mucikari yang ikut bimbel. Pembelajaran dibagi dua sesi, yaitu pagi pukul 09.00–11.00 dan siang pukul 14.00–16.00. Mata pelajaran yang diberikan adalah matematika dan bahasa Inggris.

Selain pelajaran biasa, setiap bulan, lanjut Kristiawan, pihaknya mengadakan ujian. Tidak itu saja. Dia juga sering mengadakan game-game yang berkaitan dengan pelajaran. ’’Untuk memotivasi anak-anak,” kata dia.

Mendidik anak di sekitar lokalisasi memang berbeda dengan di tempat lain. Selain kemampuan belajarnya masih lambat, banyak yang pemalu. Saat diminta maju ke depan, mereka bisa menangis karena malu. Kondisi seperti itu yang akan dia ubah. Melalui bimbingannya, dia membiasakan anak untuk maju ke depan agar mereka tidak malu lagi.

Kristiawan menyatakan, pemilik wisma tidak keberatan dengan adanya bimbel tersebut. Namun, mereka pernah salah paham. Persoalan itu muncul saat dia diwawancarai salah satu stasiun televisi. Setelah bimbel dibuka beberapa minggu, ada wartawan yang datang meliput kondisi wisma menjelang penutupan.

Saat itu wartawan tersebut mewawancarai Kristiawan. Ketika itu dia ditanya apakah bimbel tersebut terganggu dengan adanya wisma. Kristiawan pun menjawab bahwa siswa tidak bisa belajar saat malam karena suara musik dan kondisi wisma yang ramai.

Namun, ketika hasil wawancara itu muncul di televisi, ternyata hasilnya lain. Dalam tayangan tersebut, dia seolah-olah menyudutkan pemilik wisma dan menganggap keberadaan wisma mengganggu proses pembelajaran di bimbel.

Setelah berita tersebut tayang, pemilik wisma langsung menggerebek bimbel di Jalan Kupang Gunung Timur Nomor 1A itu. Dia pun kaget saat sekelompok orang mendatangi tempat tersebut. Mereka mengaku tidak terima dengan komentar Kristiawan yang menyudutkan wisma.

Dengan tenang, alumnus STM Berdikari itu menjelaskan maksud yang sebenarnya. Dia tidak berniat menyudutkan wisma. Dia hanya menyatakan bahwa siswa tidak bisa belajar saat malam. ”Hanya itu, saya tidak mengatakan keberadaan wisma mengganggu bimbel. Saya tidak pernah mengatakan seperti itu,” kata dia.

Setelah mendapat penjelasan, pemilik wisma memahami dan tidak mempersoalkan lagi. Kristiawan mengatakan, saat ini tidak ada persoalan lagi dengan muncikari. Mereka malah senang ada bimbel karena anak mereka bisa belajar. Ke depan Kristiawan ingin membuka bimbel untuk siswa SMP.

Jika lokalisasi ditutup, semakin banyak program yang bisa dilaksanakan. Salah satunya program pembelajaran malam. Program tersebut tidak mungkin bisa dilaksanakan sekarang karena kondisi di sekitarnya masih ramai.

”Kalau sekarang, ya pagi dan siang saja,” kata dia. Ya, pagi, siang, atau malam, anak-anak di lokalisasi itu memang berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang tuntas. (Khafidlul Ulum/c6/dos)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dua Bulan Rachmat Yasin Diintai Perempuan Berjilbab


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler