Guru Khawatir Tunjangan Sertifikasi Dicoret

Imbas PP Nomor 74 tahun 2008

Rabu, 21 Mei 2014 – 09:08 WIB

jpnn.com - PURBALINGGA - Ribuan guru penerima tunjangan profesi yang sudang mengantongi sertifikasi terancam dicoret. Kondisi itu terjadi jika pemerintah benar- benar menerapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 tahun 2008 Tentang Guru.

Terutama dalam pasal 17 yang mengatur mengenai perbandingan (rasio) jumlah guru dan siswa bagi pemegang sertifikasi guru itu.

BACA JUGA: Tingkat Kelulusan di Jakarta Utara Paling Rendah

Salah satu guru di Purbalingga yang enggan namanya ditulis mengatakan, belum ada kepastian penerapan itu. Namun kabarnya akan diterapkan karena sudah ada sosalisasi di tingkat pusat.

“Pelan tapi pasti kabarnya tetap akan diterapkan. Namun waktunya kapan kami belum tahu,” jelasnya.

BACA JUGA: Rektor Bisa Turunkan SPP UKT

Dalam PP itu dijelaskan tentang rasio ideal jumlah guru dan siswa dari berbagai tingkatan. Masing untuk TK/RA idealnya 1:15, SD 1:20, SMP 1:20, SMA 1:20 dan SMK 1:15. Kemudian yang paling dikhawatirkan, dalam sebuah sekolah rombongan belajar kurang dari jumlah rasio tersebut, terutama di sekolah dasar (SD).

Guru lainnya di wilayah Kecamatan Karangjambu yang juga tak bersedia ditulis namanya mengaku khawatir jika hal itu terjadi. Pasalnya jumlah siswa di sekolahnya kurang dari 20 anak.

BACA JUGA: Sekolah Disegel, Murid PAUD Belajar di Jalan

“Tak dipungkiri di sekolah lain ada yang siswanya hanya 15 orang dalam satu kelas. Ini sangat mengkhawatirkan bagi kami jika tunjangan profesi sertifikasi guru kami dicoret,” katanya.

Kepada wartawan, Kepala Dinas Pendidikan kabupaten Purbalingga, Tri Gunawan SH MH menjelaskan, para guru tidak perlu khawatir. Penerapan aturan tersebut akan disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Pasalnya pemerataan guru di tiap sekolah juga masih kurang. Idealnya delapan guru, tapi kenyataannya banyak yang hanya enam guru. Misalpun saat ini terpenuhi karena mencukupi, hal itu karena didukung adanya guru tidak tetap (GTT).

“Kami memiliki evaluasi, di lapangan angka partisipasi kasar (APK) wajib belajar masih memiliki standar bagus. Artinya, di SD kekurangan murid, bukan berarti anak usia sekolah tersebut tidak mau sekolah. Jemput bola juga sudah kami lakukan agar anak usia sekolah harus sekolah,” paparnya.

Gunawan juga mengungkapkan, jumlah siswa dalam satu rombongan belajar (rombel) dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan jumlah sekolah di satu wilayah tersebut. Misalnya ada sekolah yang gemuk dengan dua rombel dan ada yang sebaliknya.

“Ada yang di wilayah tersebut sedikit sekolah, ada pula yang berdiri banyak sekolah baik negeri maupun swasta. Tidak usah khawatir,” tambahnya.

Plt Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Purbalingga, Sarjono mengatakan, tentunya akan ada jalan keluar dari penerapan kebijakan itu oleh pemerintah. “Saya rasa tidak mungkin menghapus tunjangan profesi guru bersertifikasi itu. Jika idealnya 1 : 20, tapi kenyataan di lapangan ada yang lebih dan juga kurang,” ujarnya.

Menurutnya, untuk regulasi ini tentunya akan ada ketentuan khusus. Misalnya dengan pertimbangan lokasi sekolah. Kemudian masyarakat tetap harus dilayani pendidikannya, jarak tiga kilometer harus ada sekolah. Karenanya, bisa saja siswa di wilayah tersebut sudah tersebar di sekolah lain.

“Jika jumlah siswa sedikit dan dua sekolah harus disatukan jelas tidak mungkin. Jadi untuk kasus-kasus seperti ini, pasti ada ketentuan khusus dalam penerapan peraturan tersebut,” rincinya. (amr)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketidaklulusan Siswa SMA di Kaltara Lebih Tinggi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler