Tahun ini genap 18 tahun, Sugeng menjalani profesi gandanya sebagai guru SMP dan pengayuh becakTidak pernah sedikitpun terlontar keluhan dari bibirnya
BACA JUGA: 44 Ribu Guru di Jambi Belum Disertifikasi
Semua ia jalani dengan ikhlasLaporan Lia Apriandari, BANDARLAMPUNG
========
Tinggi mentari masih sepenggalah saat Radar Lampung (Group JPNN) menginjakkan kaki dihalaman SMP Nusantara di Jalan Jelantik No
BACA JUGA: Bupati Simalungun Dinilai Dzalimi Guru
16 Tanjungagung, Tanjungkarang Timur (TkT), BandarlampungBACA JUGA: Hilangkan Diskriminasi Sesama Guru
Ditangannya sebuah buku bergambar not balok tergenggam eratTak lama kemudian, pria yang belakangan diketahui bernama Sugeng ini terlihat memberi salam kepada para siswanya yang seolah sudah tidak sabar ingin menyerap ilmu yang akan ia tularkanTanpa banyak ba-bi-bu, pria yang tercatat sebagai warga Jalan Bangau, Tanjungagung, TkT ini langsung menghampiri white boardDengan cekatan, ia mulai menggoreskan spidol hitam ditangan kanannya membentuk pola-pola not balok
Sejenak kemudian, bapak tiga anak ini dengan suara halus mulai menerangkan cara membuat dan membaca lambang-lambang tersebut
Ya, Sugeng adalah guru kesenian sekolah ituProfesi ini telah ia geluti sejak 1987 silam“Awalnya saya tidak pernah terpikir untuk menjadi seorang guruNasib yang menuntun saya menjalani profesi ini,” ujarnya kepada Radar Lampung seusai mengajar
Dari penuturan pria 44 tahun ini, dirinya adalah salah satu alumni SMP NusantaraIa lulus pada 1983Karir pendidikannya kemudian berlanjut ke sekolah pendidikan guru (SPG) 1 PahomanPendidikan ini berhasil ia selesaikan pada 1986Setahun kemudian, pria berkulit sawo matang ini melamar sebagai staf tata usaha (TU) di almamaternya
Dari sinilah karirnya sebagai guru dimulaiKarena sekolah itu kekurangan guru, Sugeng yang memiliki bakat seni lantas diberi amanah untuk mengajar seni budayaSebagai bentuk keseriusannya menekuni dunia pendidikan, ia lantas melanjutkan berupaya melanjutkan pendidikannyaPilihan akhirnya jatuh ke pendidikan guru sekolah menengah tingkat pertama (PGSMTP) di PahomanDi lembaga setara D1 itu ia berhasil lulus dengan nilai cukup memuaskan.
“Waktu itu kebetulan di SMP Nusantara ini tidak ada guru kesenianKarena saya dipandang punya bakat, saya lalu ditawari menjadi guruTawaran ini kemudian saya terima,” tutur sembari menatap barisan siswa yang tengah berlatih upacara
Namun sayang, meski telah mengabdikan diri selama 24 tahun, embel-embel guru honorer hingga kini tidak juga lepasSaat ini ia hanya menerima honor sebesar Rp224 ribu per bulanDi zaman ini, jumlah itu tentu sangat jauh dari kata cukup
Meski demikian, Di tengah himpitan ekonomi karena harus menghidupi keluarganya, Sugeng mengambil keputusan yang cukup mengejutkanSejak 1993 ia akhirnya memutuskan untuk menjadi pengayuh becak
“Mau bagaimana lagi mbak, kerjaan ini yang paling bebas karena tidak ada tekanan atau tuntutan dari manapunKapan saja saya punya waktu, saya bisa narik (becak),” ungkapnya
Dijelaskan, pada saat ia mendapat jam mengajar siang hari, ia mengayuh becak pada sore dan malam hariDemikian sebaliknyaDari usaha ini, Sugeng bisa mengantongi penghasilan hingga Rp30 ribu per hariMeski kerap harus pulang hingga larut, ia tetap setia menjalani profesi ini
Ketika guru lain bisa beristirahat, Sugeng masih harus menjalani profesi sampingannyaPenampilannya pun berubah drastisJika saat mengajar ia mengenakan kemeja batik, ketika mengayuh becak baju itu ia ganti dengan baju kotak-kotak lengan pendek yang sudah mulai pudar warnanyaSaat itu ia hanya mengenakan celana hitam selutut dipadu dengan sandal jepit merah dan topi coklat yang melindungi kepalanya dari sengatan matahari
Setelah mengecek kondisi becak kesayangannya, dengan penuh percaya diri, Sugeng lantas mengayuh menuju Pasar Tugu TkTTerik mentari dan derasnya hujan sudah menjadi bagian hidupnyaNamun, itu semua tidak menjadi halangan berarti untuk terus mengayuh becak hitamnyaTak jarang, ban becaknya kempis di tengah jalanJika sudah begitu, artinya ia harus merelakan sebagian penghasilannya melayang
Padahal, uang penghasilan itulah yang ia pakai untuk menghidupi istri dan ketiga anaknyaYaitu Ratih Sepsilawan (17) yang kini duduk di bangku kelas 3 SMA; Surya Galih (14) duduk di kelas 2 SMP dan si bungsu, Singgih Remili Darma (12) duduk di kelas 6 SD
Sayang, saat ini ketiga buah hatinya itu harus rela kehilangan kasih sayang ibu merekaSebab, sejak Maret 2011, sang istri memilih untuk meningggalkan Sugeng dengan alasan tidak mau hidup susahPenderitaan Sugeng makin lengkap karena sejak beberapa tahun terakhir, sebuah virus yang belum diketahui jenisnya menggerogoti syaraf belakang kepalanyaAkibatnya, sebagian wajah Sugeng sempat berubah bentuk
Meski kini berangsur normal, namun bagian mata sebelah kirinya masih tampak merah
Meski dikenal sebagai pengayuh becak, namun di mata siswa dan rekan kerjanya, sosok Sugeng dipandang terhormatIni tidak lain karena sikap disiplin yang senantiasa ia tunjukkan kepada para anak didiknyaSekalipun dalam kondisi sakit, dia masih tetap bersemangat untuk menularkan ilmu kepada para anak didiknya.
Sugeng juga dikenal sebagai guru yang selalu datang tepat waktu“Saya tidak ingin anak didik saya menunggu untuk diberi ilmu,” ucapnya merendah
Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan, Kholinawati, S.Pd., juga mengakui hal ini“Pak Sugeng merupakan seorang yang sangat tabah, sangat bertanggung jawab, dan disiplinWalaupun dalam kondisi sakit, ia tetap mengajar murid-muridDatangnya pun tidak pernah telatPokoknya sangat disiplin,” katanya ketika dimintai tanggapan.
Senada, sang anak Ratih mengaku bangga meski sang ayah menekuni pekerjaan yang kerap dipandang rendahan itu“Saya justru bangga Mbak dengan bapakSaya tidak malu punya bapak tukang becak,” katanya penuh keyakinan
Dipenghujung karirnya, Sugeng masih menyimpan sebuah ambisi besar yaitu melanjutkan pendidikannya ke jenjang strata 1“Biar saya bisa diangkat MbakSekarangkan untuk dapat sertifikasi guru harus sarjanaSemoga Allah SWT, mengabulkan harapan ini,” ,” katanya sambil menunduk.(fik)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jaktim Usulkan Rehab 23 Gedung SMAN/SMKN
Redaktur : Tim Redaksi