jpnn.com, JAKARTA - Anggota Fraksi PPP DPR RI Arwani Thomafi, mengatakan pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja di parlemen bisa disetop, tanpa harus menunggu sikap pengusul dalam hal ini Presiden Jokowi untuk menghentikan.
Hal itu disampaikan politikus yang beken disapa Gus Aang, merespons adanya pernyataan bahwa RUU Cipta Kerja yang kontroversial itu tidak bisa ditunda atau dihentikan ketika sudah masuk dalam pembahasan tingkat pertama, kecuali oleh pihak pengusul yaitu Presiden.
BACA JUGA: RUU Cipta Kerja Dinilai Punya Prinsip yang Sesuai dengan Kebutuhan Pasar Kerja
Gus Aang menyebutkan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan memang menyebut dan memberikan pedoman bahwa seharusnya pembahasan sebuah RUU itu bisa selesai sehingga menjadi sebuah UU.
"Namun yang terjadi, dari puluhan RUU yang masuk sampai pembahasan tingkat pertama (di DPR), tidak semuanya selesai menjadi sebuah UU," katanya dalam keterangan yang diterima jpnn.com, Kamis (23/4).
BACA JUGA: Anti-Omnibus Law, Irwan Fecho Tuding Rekan-rekannya di DPR Tidak Prorakyat
Dia menjelaskan, sebagian besar posisi tidak selesai atau macetnya RUU itu ketika berada dalam pembahasan tingkat pertama, terjadi antara lain karena ditarik oleh pengusul, ada pembahasan tetapi berjalan alot atau tidak ada pembahasan alias tidak ada rapat.
"Intinya sebuah RUU untuk bisa disetujui menjadi UU harus atas persetujuan bersama DPR dan Presiden. Nah, yang model macet karena tidak ada rapat itu sudah lazim terjadi," lanjut legislator Dapil Jawa Tengah III ini.
BACA JUGA: Tegas, Wako Solo Ingatkan Presiden Jokowi Tak Usah Mudik daripada Dikarantina
Hal itu, kata mantan anggota Baleg DPR ini, bisa terjadi karena pemerintah mangkir saat diundang rapat. Sebaliknya, fraksi-fraksi di DPR tidak kuorum.
Dalam kacamata politik legislasi, kondisi itu sah dilakukan sebagai hak politik masing-masing pihak, walaupun idealnya mereka hadir dalam rapat dan menyampaikan pendapatnya baik setuju atau tidak setuju secara jelas.
Namun dalam praktiknya, mekanisme politik kerap ditempuh baik oleh DPR maupun Presiden dalam pembahasan sebuah RUU yang akhirnya pembahasan tersebut tidak dilanjutkan. Bahkan Gus Aang mengalami sendiri sebagai ketua Pansus RUU Larangan Minuman Beralkohol periode lalu.
"Sikap politik pemerintah yang tidak hadir dalam sejumlah kesempatan rapat akhirnya menjadikan RUU Larangan Minuman Beralkohol ini urung dibahas dan disahkan. Ada juga RUU Pertembakauan, RUU Wawasan Nusantara dan lainnya. Jelas sekali bahwa praktek tersebut ada presedennya dan hal yang lazim saja," jelas wakil ketua Komisi II DPR ini.
Maka dari itu, kata Gus Aang, mekansime penundaan pembahasan RUU Cipta Kerja dapat dilakukan melalui hak politik yang dimiliki masing-masing pihak sebagai perumus UU. Dalam konteks ini, fraksi-fraksi di DPR memiliki hak politik untuk tidak ikut serta atau hadir dalam pembahasan sebuah RUU.
Dasar ketidakikutsertaan dalam pembahasan sebuah RUU tentu mengacu pada aspirasi publik, urgensi pembahasan, serta momentum. Ketiga hal tersebut cukup menjadi alasan bagi DPR sebagai wakil rakyat untuk menunda pembahasan RUU Cipta Kerja.
"Jadi, tidak semata-mata urusan teknis-prosedural semata. Apalah makna teknis-prosedural namun justru mengenyampingkan hal yang substansial yakni aspirasi, urgensi dan ketiadaan momentum," tegasnya.
Jika situasi dan momentumnya nanti sudah tepat pascapenanganan bencana nasional Covid-19, maka semua stakeholder dapat kembali duduk bersama untuk membahas substansi dalam RUU Cipta Kerja.(fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam