jpnn.com, SEMARANG - Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) mengapresiasi ketegasan Kementerian ESDM terhadap PT Freeport Indonesia.
Sikap pemerintah yang menginginkan perubahan status kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) merupakan bentuk penguasaan negara terhadap sumber daya alam.
BACA JUGA: Aktivitas Produksi PT Smelting Baru 85 Persen
Hal itu bertujuan agar pengelolaan sumber daya alam, khususnya migas lebih berkeadilan dan menguntungkan Indonesia.
“Dukungan Ansor kepada pemerintah, dalam hal ini Menteri ESDM, tidak akan surut. Terlebih hingga saat ini pemerintah masih tegas dalam proses negosiasi, yakni perubahan kontrak karya menjadi IUPK serta divestasi saham Freeport sebesar 51 persen. Sikap itu seperti apa yang kami harapkan sejak awal,” ungkap Ketua Umum PP GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas usai koordinasi Harlah ke-83 Ansor di Semarang, Senin (20/3).
BACA JUGA: Freeport Tak Mau Lagi Dukung Persipura
Pria yang akrab disapa Gus Yaqut itu menambahkan, keuntungan yang diberikan Freeport kepada Indonesia masih jauh dari harapan.
Terutama terkait kesejahteraan rakyat, sistem pengelolaan, dan penerimaan negara.
BACA JUGA: Anggota Dewan Sebut Freeport Pembohong
“Langkah perubahan kontrak karya menjadi IUPK itu agar pengelolaan lebih berkeadilan dan menguntungkan Indonesia. Peran pemerintah dalam IUPK lebih besar daripada kontrak karya yang kedua belah pihak setara,” ujar anggota Komisi VI DPR RI tersebut.
Yaqut juga mengapresiasi upaya pemerintah memberantas kecurangan dalam bisnis migas atau mafia.
Sampai akhir 2016 lalu, skema kontrak kerja dalam bisnis migas menggunakan sistem production sharing cost (PSC) dengan cost recovery (pengembalian biaya produksi).
Namun, skema cost recovery tersebut menjadi tidak efisien dan menimbulkan kecurangan, penggelembungan biaya, biaya siluman, dan korupsi.
“Ada potensi kecurangan dalam sistem itu (PSC Cost Recovery) seperti data yang dimanipulasi dan biaya cost recovery yang harus dibayarkan negara kepada KKKS (kontraktor kontrak kerja sama lebih besar dari yang diterima oleh negara,” jelasnya.
Karena itu, lanjut Yaqut, Kementerian ESDM kemudian mencoba melakukan terobosan dengan mengubah PSC cost recovery menjadi gross split.
Skema gross split merupakan hal baru di Indonesia dengan pembagian yang lebih menguntungkan negara.
“Ini merupakan rentetan upaya pemerintah dalam menguasai kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat, sebagaimana tertuang dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar,” lanjut Yaqut.
Yaqut menambahkan, hal tersebut juga berlaku dalam proses negosiasi dengan PT Freeport.
Freeport yang sudah berpuluh tahun menguasai tambang di Papua memiliki penghasilan besar setiap tahunnya.
Namun, yang diberikan kepada negara hanya sekian persen dari keuntungan yang diterima pertusahaan asal Amerika tersebut.
Begitu juga dengan nilai upah yang diberikan kepada pekerja di Indonesia yang perbandingannya cukup jauh.
“Kesenjangan upah yang diterima oleh pekerja di Freeport tidak manusiawi. Bahkan menjadi bentuk eksploitasi sumber daya alam secara tidak berkeadilan, tidak berpihak pada penduduk lokal,” tegas Gus Yaqut. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 2300 Karyawan Freeport Dirumahkan
Redaktur & Reporter : Ragil