jpnn.com, JAKARTA - Ketua LBH Umat Chandra Purna Irawan mengomentari proses hukum terhadap Habib Bahar bin Smith yang telah ditetapkan penyidik Polda Jabar sebagai tersangka dan ditahan.
Habib Bahar ditahan setelah menjalani pemeriksaan di Markas Polda Jabar pada Senin (3/1), atas kasus penyebaran berita bohong.
BACA JUGA: Habib Bahar Tersangka dan Ditahan, Ferdinand Sampaikan Kalimat Begini
Dalam pendapat hukumnya, Chandra menilai penetapan tersangka dan penahanan Habib Bahar memunculkan analisis adanya dugaan 'pembunuhan karakter' terhadap ulama atau aktivis yang kritis.
"Dengan dilekatkan sebagai orang yang berbohong, kriminal, residivis," kata Chandra dalam keterangan tertulis yang diterima JPNN.com, Selasa (4/1).
BACA JUGA: Ada 2 Kata Tertulis di Paket Kepala Anjing yang Dikirim ke Pesantren Habib Bahar
Jika analisis itu benar, kata Chandra, maka tampaknya itu sesuai dengan rekomendasi Rand Corporation, yaitu 'Delegitimize individuals and positions associated with hypocrisy, criminal and immorality' atau serangan terhadap individu atau karakter dari tokoh-tokohnya.
"Upaya ini dilakukan agar meminimalisir dukungan publik terhadap tokoh-tokoh tersebut," kata ketua eksekutif BPH KSHUMI (Komunitas Sarjana Hukum Muslim Indonesia) itu.
BACA JUGA: Mayor Ermansyah Tegaskan yang Mendatangi Habib Bahar bukan Oknum TNI, Aziz Yanuar Bereaksi
Habib Bahar sendiri dijerat dengan Pasal 14 Ayat 1 dan 2 UU Nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana Jo Pasal 55 KUHP dan atau Pasal 15 UU nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana Jo Pasal 55 KUHP dan atau Pasal 28 Ayat 2 Jo Pasal 45A UU ITE Jo Pasal 55 KUHP.
"Bahwa pasal tersebut bersifat karet, lentur, dan tidak memuat definisi pasti yang ketat. Dalam hal ini apa yang dimaksud 'berita atau pemberitahuan bohong' dan 'keonaran di kalangan rakyat'," tutur Chandra.
Semestinya, kata dia, ada definisi konkret dan memiliki batasan yang jelas mengenai frasa 'berita atau pemberitahuan bohong' dan 'keonaran di kalangan rakyat tersebut.
Apabila tidak, maka dikhawatirkan bersifat karet/lentur, tidak bisa diukur, dan penerapannya dikhawatirkan berpotensi sewenang-wenang dalam menafsirkan.
"Hukum pidana mesti bersifat lex stricta, yaitu hukum tertulis tadi harus dimaknai secara rigid, tidak boleh diperluas atau multitafsir pemaknaannya," ucap dia.
Chandra menyebut frasa 'keonaran di kalangan rakyat' pun hingga saat ini tidak ada definisi dan batasan yang jelas. Hal itu dikhawatirkan dan berpotensi menjadikan aparat penegak hukum dapat dengan secara subjektif dan sewenang-wenang menentukan status suatu kondisi dimaksud.
BACA JUGA: Denny Siregar Aktif Komentari Habib Bahar meski Berstatus Terlapor di Polda Jabar
"Bahwa pasal tersebut berpotensi dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu dengan dugaan motif pelaporan balas dendam, shock therapy, persekusi kelompok dan delegitimasi individu," kata dia.
Oleh karena itu, dia mendorong pemerintahan Presiden Jokowi melakukan revisi atau menghapuskan pasal-pasal karet tersebut.
"Sikap Presiden dalam hal ini sangat diperlukan agar tidak memunculkan persepsi publik sebagai rezim yang mengkriminalisasi dan membungkam suara kritis," tegasnya.
BACA JUGA: Sahroni Singgung Keadilan dari Pengusutan Cepat Polisi ke Habib Bahar, Husin Shihab?
Terakhir, Chandra juga menyentil kasus hampir serupa yang dituduhkan terhadap Habib Bahar, tetapi belum ada kemajuan proses hukumnya di jajaran Polda Jabar.
Itu terkait pelaporan Denny Siregar oleh pimpinan Pesantren Tahfidz Quran Daarul Ilmi Tasikmalaya Ustaz Ahmad Ruslan Abdul Gani ke Polresta Tasikmalaya, Polda Jabar pada 2 Juli 2020, terkait dugaan ujaran kebencian terhadap santri.
"Bahwa kami mendorong agar aparat penegak hukum untuk terbuka atas perkembangan proses hukum terhadap Denny Siregar yang dilaporkan, agar tidak menimbulkan kesan publik jika pihak yang kontra dengan pemerintah dengan cepat diproses, tangkap dan ditahan," ucap Chandra Purna Irawan. (fat/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam