jpnn.com, JAKARTA - Anggota Pusat Kajian Assessment Pemasyarakatan POLTEKIP Reza Indragiri Amriel menyoroti upaya Habib Rizieq Shihab (HRS) menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) gegara tak diizinkan umrah.
Gugatan dari Tim Advokasi Habib Rizieq ke PTUN dilakukan terhadap surat yang dikeluarkan oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Jakarta Pusat (Jakpus) terkait izin ibadah eks imam besar Front Pembela Islam (FPI) itu dengan alasan tidak mendapat rekomendasi dari Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.
BACA JUGA: Aziz Yanuar soal Habib Rizieq Menggugat ke PTUN, Singgung Intrik Politik Busuk
Menurut Reza, dahulu, pascanarapidana (napi) keluar dari lapas maka otoritas penegakan hukum menganggap napi tersebut tidak perlu diawasi lagi. Namun belakangan ini muncul tren baru di sejumlah negara bahwa orang yang pernah dihukum terus dipantau keberadaannya.
"Pada sisi itu, sepintas lalu, pelarangan bagi HRS untuk berumrah seolah ada pembenarannya. Alasan Kumham, tidak ada instrumen untuk mengawasi HRS," ucap Reza dalam keterangan yang diterima JPNN.com, Selasa (1/8).
BACA JUGA: Jadi Tersangka, Panji Gumilang Terancam Bakal Lama di Penjara
Akan tetapi, kata Reza, bila ditelisik lebih jauh maka sikap Kemenkumham itu justru memantik rentetan pertanyaan.
Pertama, Kemenkumham tidak menyebutkan aspek apa pada diri Habib Rizieq yang perlu diawasi sedemikian ketat sampai-sampai dia tidak diizinkan menjalankan ibadah umrah ke Tanah Suci.
BACA JUGA: Chandra: Hanya Presiden Jokowi yang Dapat Memolisikan Rocky Gerung
Jika pengawasan itu dimaksudkan untuk memonitor kemungkinan HRS mengulangi perbuatan pidananya, Reza menilai negara semestinya bisa menunjukkan data spesifik tentang seberapa tinggi risiko residivisme HRS.
"Data tentang hal itu hanya bisa didapat dari risk assessment. Nah, apa iya Kumham pernah melakukan risk assessment terhadap HRS?" kata Reza mempertanyakan.
Reza lantas menyinggung soal Mahkamah Agung (MA) memotong hukuman pidana HRS yang menandakan MA tidak risau mempercepat masa reintegrasi Habib Rizieq ke tengah-tengah masyarakat.
"Kalau HRS dianggap berbahaya bagi masyarakat, tak mungkin MA mengorting masa pidananya," lanjut pria yang juga pakar psikologi forensik itu.
Kedua, lanjut Reza, jika Habib Rizieq dikhawatirkan melakukan tindak pidana kembali, maka lembaga-lembaga dalam sistem peradilan pidana seharusnya bisa memperlihatkan angka residivisme pada berbagai tindak pidana.
Kalaupun data itu lengkap tersedia, negara perlu menjelaskan secara terukur apakah tindak pidana HRS punya tingkat residivisme lebih tinggi dibandingkan tindak-tindak pidana lain.
"Sekiranya ada tindak-tindak pidana lain yang tingkat residivismenya lebih tinggi, maka pertanyaan susulannya adalah apakah negara juga melakukan pengawasan terhadap para eks napi yang memiliki riwayat pidana tersebut?" tutur Reza.
Dia pun menilai bahwa tindak pidana yang mengantarkan HRS masuk bui tidak memiliki kebahayaan sama sekali pada masa kini. Bahkan, tidak pula beralasan untuk dikhawatirkan.
Sebab, kasus Petamburan dan kasus Megamendung berlangsung terkait situasi pandemi. Nah, sekarang, pemerintah bahkan dunia sudah menyetop status pandemi.
"Sehingga, tidak ada lagi alasan untuk waswas bahwa seandainya HRS kembali mengadakan keramaian, keramaian itu akan menyebarluaskan Covid-19," ucapnya.
Begitu pula jika dikaitkan dengan kasus keonaran di media sosial, Reza menilai sangat gampang bagi negara memantau medsos tiap warganegara.
Terkait Habib Rizieq, Reza menyebut di mana pun dia berada, termasuk di Tanah Suci sekalipun, alat-alat negara punya teknologi agar selalu bisa memonitor dari jauh namun melekat kekacauan apa yang terjadi di media sosial akibat perbuatan HRS.
"Seandainya ada keonaran di media sosial, dan itu akibat kelakuan HRS, ya, ringkus saja," lanjutnya.
Terakhir, Reza menyinggung bahwa penelitian menyimpulkan faktor-faktor utama yang menjauhkan seseorang dari perbuatan pidana berulang, yaitu, ikatan keluarga yang erat, aktivitas yang mengaktualisasi diri si mantan napi.
Kemudian, pengakuan dari publik, adanya harapan dan perasaan mampu menunjukkan kiprah produktif, serta perasaan memiliki makna dan tujuan dalam hidup.
"Itu semua diistilahkan sebagai faktor pelindung atau protective factors. Dari situ, saya bertanya lagi ke Kemenkumham; apakah pernah mengecek ada tidaknya lima faktor protektif tersebut pada diri HRS," tuturnya.
Kalau ternyata tidak pernah dicek, kata Reza, maka alih-alih waswas terhadap HRS, dia justru menilai negaralah yang khawatir secara sangat berlebihan -untuk tidak mengatakan paranoid- terhadap Habib Rizieq.
"Negaralah yang membuat risau karena tidak adil dalam menilai mantan napi," kata Reza Indragiri.(fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam