jpnn.com, JAKARTA - BUMN holding industri pertambangan MIND ID siap mendukung keputusan pemerintah terkait peraturan Menteri ESDM No. 17 tahun 2020, yang hanya mengizinkan ekspor bauksit paling lama sampai 10 Juni 2023.
Menurut Direktur Utama MIND ID Hendi Prio Santosa ini merupakan bagian dari langkah hilirisasi industri tambang untuk meningkatkan nilai tambah.
BACA JUGA: Dirikan AKIPBA, MIND ID Diapresiasi
"Selain itu (kami) siap menggandeng mitra strategis," ujar Hendi dalam acara The 1st Minerals Mining Industry, Selasa (29/11).
Bauksit merupakan bahan mentah yang diolah menjadi Smelter Grade Alumina (SGA) dan selanjutnya menghasilkan alumunium ingot.
BACA JUGA: Ganjar dan MUI Berkolaborasi Wujudkan Generasi Muda Antinarkoba
Sebagai gambarannya, nilai jual untuk 1 ton bauksit sekitar US$31. Sedangkan harga alumina untuk 0,30 ton mencapai US$118,8 atau ada kenaikan nilai mencapai 3,8 kali.
Jika diolah kembali menjadi alumunium (150 kg) dengan harga jual sebesar US$465 atau naik 4,1 kali.
BACA JUGA: MIND ID Salurkan 1.550 Paket Sembako Kepada Korban Gempa di Cianjur
Hendi menuturkan, total permintaan alumunium domestik pada tahun 2030 diprediksi mencapai 1,2 juta ton.
Saat ini terdapat selisih per tahun (KTA) untuk alumunium primer antara produksi Inalum as-is dan permintaan domestik.
"Selain itu terdapat peluang untuk memenuhi permintaan aluminium sekunder baik domestik maupun global yang pertumbuhannya lebih tinggi dibanding aluminium primer," ujarnya.
Pada tingkat global, pertumbuhan konsumsi paling tinggi adalah produk castings dan wire and cables.
Sektor transport, consumer durables, dan electrical memiliki proyeksi pertumbuhan yang paling tinggi karena didorong oleh subsitusi material dan kebutuhan industri besar masa depan seperti electrical vehicle (EV).
Adapun untuk integrasi rantai nilai bauksit-aluminium MIND ID, pertambangan bauksit ada di PT Aneka Tambang Tbk (Antam) melalui North Blok yaitu Mempawah, Landak, BEI, GK, dan DK. Serta South Block yaitu Tayan, Munggu Pasir, dan MCU.
Selanjut proses refining (pengilangan) hingga smelting dilakukan bersama Antam dan PT Inalum dengan komposisi 40%:60%.
Dalam hilirisasi aluminium, Hendi menggarisbawahi faktor-faktor kritikal yang menjadi tantangan kebijakan ini.
Pertama, kebutuhan listrik. Listrik adalah faktor utama idustri aluminium.
Biaya listrik jangka panjang yang rendah akan menjadi competitive advantage industri aluminium di Indonesia untuk proyek peningkatan produksi.
Kedua, belanja modal (capex). Pemilihan teknologi yang optimal disesuaikan dengan peta jalan produk yang kritis. Asumsi penggunaan teknologi EGA saat ini.
Ketiga, advokasi kebijakan. Terutama terkait dukungan pengembangan industri lokal misalnya biaya tanah, hambatan tarif dan non-tarif, potongan pajak, dan akses ke tenaga air & dukungan tarif listrik rendah.
"Keempat, pengembangan. Mingkatkan segmen bisnis yang menarik akan meningkatkan profil pengembalian," katanya.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy Artada