jpnn.com - Ibadah haji selalu menjadi ritual yang sangat istimewa bagi umat Islam.
Apalagi di Indonesia, haji telah menjadi ritual religi dan sosial yang bukan hanya menunjukkan tingkat kesalehan seseorang, tetapi juga menjadi indikator status sosial seseorang.
BACA JUGA: Dana Haji Diisukan Digunakan Membiayai Infrastruktur, Menko PMK Gerak Cepat
Karena itu, gelar haji di depan nama seseorang menjadi sangat penting untuk selalu dicantumkan.
Lupa menyebut gelar haji, atau tidak mencantumkan gelar haji di depan nama seseorang akan menjadi persoalan serius karena menyangkut sensitivitas tinggi yang menyangkut harga diri dan kehormatan sosial.
BACA JUGA: Kemenag Tegaskan Pembatalan Pemberangkatan Jemaah Calon Haji 2021 Sudah Tepat
Mungkin hanya di Indonesia gelar haji menjadi sangat penting. Di beberapa negara seperti Malaysia maupun negara-negara Islam di Afrika Utara pencantuman gelar haji menjadi tradisi sosial.
Namun, di Indonesia implikasi gelar haji bukan hanya memengaruhi status sosial, tetapi juga politik.
BACA JUGA: Konon Pemerintah Tidak Terburu-buru Membatalkan Keberangkatan Haji 2021
Calon kepala daerah, mulai dari kabupaten-kota sampai ke level presiden akan mendapatkan legitimasi religius yang besar kalau punya gelar haji.
Demikian pula dengan calon anggota legislatif, pasti akan mendapat legitimasi yang lebih besar dengan gelar haji.
Gelar haji akan menjadi semacam garansi bahwa penyandangnya adalah manusia salih nan religius, dan punya posisi terpandang dalam struktur sosial masyarakat.
Karena itu, nama presiden RI sering ditulis lengkap dengan gelar H. Joko Widodo.
Penempelan gelar itu penting, terutama ketika ada hajatan-hajatan hari nasional keagamaan, seperti Idulfitri, Maulid Nabi, Isra Mikraj, Nuzululquran, dan even-even Islam lainnya.
Pada hajatan-hajatan itu rasanya kurang afdol kalau gelar haji presiden tidak dicantumkan.
Salah satu kebanggaan bagi para haji adalah ketika mereka mendapatkan nama baru sepulang dari haji.
Biasanya, nama-nama yang "kurang islami" lantas diganti dengan nama yang lebih islami.
Namun, jangan keliru. Ada nama-nama haji yang tidak didapat dari otoritas resmi pemerintah Arab Saudi, melainkan julukan sosial dari masyarakat yang bersifat joke atau candaan.
Nama Haji Abidin, misalnya, sudah kondang untuk menyebut haji yang dibiayai kantor, karena "abidin" adalah akronim dari "atas biaya dinas".
Ada lagi haji yang biayanya dikasih orang lain dan bisa berangkat gratis. Haji ini dijuluki sebagai "Haji Kosasih" alias ongkos dikasih.
Mungkin karena di Jawa Barat maka namanya disesuaikan dengan nama Sunda, Kosasih. Namun, di Jawa Timur, ada haji gratis hasil patungan jemaah masjid. Haji seperti ini dijuluki sebagai "Haji Sokeh" alias disangga wong akeh, biaya dipikul banyak orang.
Ada lagi haji yang beruntung karena orang tua meninggalkan warisan yang cukup untuk berangkat haji. Haji seperti ini di kampung dijuluki sebagai "Haji Hasan" haji hasil warisan. Ada juga "Haji Dolah", berangkat haji setelah "ngedol sawah", jual sawah.
Ada lagi haji yang diberangkatkan oleh partai politik. Biasalah, partai politik perlu pencitraan supaya dianggap sebagai partai pro-Islam. Karena itu parpol membiayai anggotanya untuk berangkat haji. Sepulang dari Mekah haji ini dapat gelar "Haji Abubakar" alias "haji atas budi baik Golkar".
Namun, ada juga yang kasihan karena gagal berangkat haji gegara ditipu travel penyelenggara haji yang curang. Haji gagal ini lalu dijuluki "Haji Holik" dari hotel langsung balik. Atau di Jawa disebut "Haji Abdul Rasid", arep budal ora sida, mau berangkat tetapi gagal.
Karena kuota haji yang terbatas dan masa tunggu yang puluhan tahun, banyak calon haji yang sudah tidak sabar menunggu panggilan berangkat. Mereka ini dijuluki "Haji Simatupang", siang malam tunggu panggilan.
Saking kepinginnya berangkat haji, tetapi tidak punya biaya, ada sementara orang yang percaya bahwa berziarah naik ke puncak gunung tertentu sama saja dengan berhaji.
Maka masyarakat Sulawesi Selatan ada yang melakukan ritual haji dengan naik ke puncak Gunung Bawakaraeng lalu salat Iduladha dan menyembelih kurban. Dengan begitu mereka percaya sudah mendapat pahala sama dengan haji.
Kepercayaan mistis semacam itu hidup juga di sebagian masyarakat Jawa yang percaya bahwa mengunjungi Masjid Demak, di Jawa Tengah, selama tujuh kali sama saja dengan beribadah haji ke Mekah.
Begitu pentingnya ibadah haji dalam sistem sosio-religi di Indonesia, sehingga ibadah ini menjadi salah satu urusan yang paling mendapatkan sorotan masyarakat setiap tahun. Kali ini, pemerintah resmi mengumumkan bahwa tahun ini tidak akan ada pengiriman jemaah haji ke Mekah.
Keputusan ini mengagetkan banyak pihak, dan sudah pasti mengecewakan jemaah calon haji yang mestinya tahun ini dijadwalkan berangkat.
Banyak di antara mereka yang sudah menunggu antrean bertahun-tahun sampai belasan tahun. Nmaun, ketika giliran berangkat tiba terjadi pembatalan.
Menteri Agama Yaqut Kholil Qoumas beralasan bahwa kondisi dunia yang masih belum aman dari pandemi Covid-19 menjadi alasan utama untuk tidak mengirim jemaah haji.
Namun, kemudian muncul berbagai spekulasi yang meragukan alasan yang dikemukakan Menag Yaqut.
Spekulasi yang paling santer menyebutkan bahwa pemerintah Indonesia tidak mendapatkan kuota dari Arab Saudi.
Sebagai negara dengan jumlah populasi muslim terbesar di dunia kegagalan mendapatkan kuota ini tentu memantik perdebatan keras.
Ada yang menganggap pemerintah gagal melakukan diplomasi haji, padahal negara lain telah mendapatkan kuota.
Alasan yang paling santer disebut adalah pemerintah Indonesia masih punya tunggakan komitmen pembayaran yang belum diselesaikan.
Spekulasi lain menyebutkan bahwa pemerintah Indonesia menunggak komitmen itu karena dana haji telanjur dipakai untuk membiayai proyek infrastruktur.
Pemerintah belum memberi penjelasan resmi mengenai hal ini.
Namun, pemakaian dana haji untuk pembangunan infrastruktur menjadi kontroversi panas beberapa tahun terakhir.
Pemerintah beralasan bahwa sudah ada izin untuk menggunakan dana haji untuk pembiayaan infrastruktur. Namun, pemerintah tidak bisa menjelaskan bagaimana mekanisme izin itu diberikan.
Pemerintah Arab Saudi dikabarkan menolak calon jemaah Indonesia yang memakai vaksin Sinovac buatan China karena belum mendapat sertifikasi dari Badan Kesehatan Dunia, WHO.
Namun, sekarang WHO sudah mengeluarkan sertifikat darurat, tetapi ternyata pemerintah Indonesia malah membatalkan pemberangkatan.
Ini merupakan pembatalan kedua setelah tahun lalu pemerintah memutuskan tidak memberangkatkan jemaah.
Tentu para calon jemaah sangat kecewa, karena mereka sudah mengantre bertahun-tahun. Penundaan ini juga membuat atrean ke depan makin panjang.
Kalau benar penundaan ini karena uang haji dipakai untuk biaya pembangunan infrastruktur, nanti akan muncul sebutan "Haji Maskur", masih dipakai untuk infrastruktur. (*)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi