jpnn.com, JAKARTA - Hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan Merry Purba divonis enam tahun penjara oleh majelis hakim pengadilan negeri tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta. Merry dianggap menerima suap sebesar SGD 150 ribu dari pengusaha Tamin Sukardi.
“Menyatakan terdakwa Merry Purba bersalah menerima suap secara bersama-sama sebagaimana didakwakan pada dakwan pertama. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 6 tahun dan denda 200 juta dengan ketentuan pidana kurungan selama satu bulan kurungan,” kata Ketua Majelis Hakim Saifuddin Zuhri di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta, Kamis (16/5).
BACA JUGA: KPK Tetapkan Bupati Bengkalis Tersangka Suap Proyek Jalan
BACA JUGA: Seleksi Hakim Agung Dimulai, Tunggu Masukan Masyarakat
Selain dipidana penjara enam tahun, Merry Purba juga diwajibkan membayar denda Rp 200 juta subsider satu bulan kurungan. Putusan terhadap Merry lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menuntut Merry dengan hukuman sembilan tahun penjara dan denda Rp 350 juta subsider tiga bulan kurungan.
BACA JUGA: Pak Jokowi Bakal Umumkan Pansel Capim KPK Besok atau Lusa
Dalam pertimbangannya, untuk hal yang memberatkan majelis hakim menilai, Merry Purba tidak mengakui perbuatannya dan mencederai kepercayaan masyarakat karena kinerjanya sebagai hakim.
“Untuk hal yang meringankan, terdakwa berlaku sopan, belum pernah di hukum dan mempunyai tanggungan keluarga,” ucap hakim Saifuddin.
BACA JUGA: Masa Jabatan Tersisa 7 Bulan, Pimpinan KPK Bertekad Tuntaskan 18 Kasus Besar
Majelis hakim meyakini, uang suap yang diterima Merry sebesar SGD 150 ribu untuk mempengaruhi putusan Tamin Sukardi yang saat itu berstatus terdakwa.
BACA JUGA: MA Nonaktifkan Hakim PN Semarang Penerima Suap Bupati Jepara
Diketahui, Tamin ketika itu terjerat kasus terkait pengalihan tanah negara atau milik PTPN II kepada pihak lain seluas 106 hektare eks HGU PTPN II Tanjung Morawa di Pasar IV Desa Helvetia, Kabupaten Deli Serdang.
Perkara itu diadili di PN Medan dengan susunan majelis Wahyu Prasetyo Wibowo sebagai ketua majelis dan dua hakim anggota atas nama Sontan Merauke Sinaga dan Merry Purba, serta panitera pengganti Wahyu Probo Julianto dan Helpandi.
Tamin kemudian meminta bantuan rekannya Hadi Setiawan untuk memberikan uang itu kepada hakim PN Medan melalui panitera pengganti Helpandi. Uang yang diterima Helpandi sebesar SGD 280 ribu untuk dibagikan kepada Merry Purba dan hakim lainnya. Uang tersebut dimaksudkan untuk mempengaruhi putusan Tamin agar bebas.
Helpandi menyerahkan uang SGD 150 ribu saat melihat mobil milik Merry Purba sedang diparkir di pinggir jalan. Kemudian seorang pria di dalam mobil membuka kaca dan menerima uang yang diserahkan Helpandi.
Sisa uang SGD 130 ribu diperuntukan hakim lainnya masih dipegang Helpandi yang rencananya akan diserahkan setelah putusan Tamin selesai. Namun Helpandi terkena OTT KPK di PN Medan, sehingga uang tersebut disita oleh KPK.
Merry Purba dikenakan Pasal 12 huruf c juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Mendengar putusan tersebut, Merry tetap menegaskan bahwa dirinya tidak pernah menerima suap dari Tamin Sukardi. Oleh karena itu, Merry langsung mengajukan banding atas vonis majelis hakim.
“Saya mengapresiasi bahwa putusan bapak putusan semuanya mengurangi tuntutan JPU. Namun dengan putusan anda bahwa saya tegaskan, tidak menerima apa pun terutama menerima uang saya tidak pernah, saya sudah membawa bukti, saya tidak pernah menerima apa pun untuk itu saya terus mencari kebenaran terima kasih,” ucap Merry.
“Saya harus banding, saya tidak pernah menerima itu semua,” sambungnya.
Sementara itu, jaksa KPK masih mengaku pikir-pikir. Sebab mempunyai waktu satu pekan untuk menerima atau melakukan banding atas vonis tersebut. “Kita pikir-pikir dulu,” tukas jaksa. (jpc/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KPK Biarkan Tiga Kasus Besar Mangkrak, MAKI Ajukan Gugatan Praperadilan
Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti