jpnn.com - JAKARTA - Target pendapatan negara dalam Rancangan Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 sebesar Rp 1.848 triliun, dinilai mustahil dapat tercapai. Apalagi dari total tersebut, pendapatan sektor perpajakan dalam negeri ditarget mampu menyumbang Rp 1.524 triliun, sementara sektor pendapatan pajak perdagangan internasional hanya Rp 41 triliun dan target penerimaan bukan pajak Rp 280 triliun.
"Target angka-angka penerimaan sektor perpajakan dalam negeri tersebut sangat tidak realistis, jika tidak ada instrumen yang disiapkan pemerintah untuk meningkatkan kemampuan daya beli masyarakat,"ujar Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra menyoroti satu tahun Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, Senin (26/10).
BACA JUGA: Kejaksaan Agung Dituding "Bermain" di Polemik SPDP Risma, Ini Tanggapan Prasetyo
Karena itu, PBB kata Yusril, menilai pemerintah perlu menghitung ulang dan menetapkan kembali asumsi dasar makro ekonomi, sektor penerimaan dan pengeluaran untuk penetapan RAPBN 2016, dengan lebih realistis, cermat, jujur dan kehati-hatian. Sebab kalau asumsi dasar penetapannya tidak realistis, maka sesungguhnya RAPBN 2016 tidak memberi harapan pada perbaikan ekonomi negara.
Target penerimaan dinilai semakin tidak realistis, apalagi pemerintah juga dinilai terjebak pada pembangunan proyek ambisius yang berlebihan dan terkesan sekadar 'bagi-bagi' proyek. Hal tersebut kata Yusril, semakin memerburuk stigma lemahnya kinerja pemerintahan Jokowi-JK.
BACA JUGA: KPK Didesak Usut Dugaan Korupsi Mantan Bupati Musi Rawas
Contohnya proyek listrik 35 ribu MW. Kalau tetap dilaksanakan sampai 2019, maka akan ada kapasitas 21 ribu Mw. Sementara dalam kesepakatan pembelian dengan swasta, PLN harus membayar 72 persen, dipakai atau tidak dipakai. Hal ini menurut Yusril, akan membuat PLN mengalami kesulitan membayar excess power sebesar USD 10,763 miliar. Anehnya pemerintah bersikeras tetap melanjutkan proyek tersebut, meski diakui akan merugikan PLN.
Belum lagi proyek kereta api "super cepat" Jakarta-Bandung, menurut Yusril sama sekali tidak ada urgensinya dengan kesulitan ekonomi yang sesungguhnya sedang dihadapi Indonesia.
BACA JUGA: Tersandung Korupsi P3SON Hambalang, Kejagung Tahan Mantan Anak Buah Imam Nahrawi
"Proyek ini sesungguhnya akan menambah beban utang baru pada BUMN yang terlibat dalam proyek ini. Karena biaya pembangunan kereta cepat sebesar Rp 78 triliun itu bukan berasal dari pengalihan subsidi BBM seperti yang sering diungkapkan pemerintah. Melainkan setoran equity 25 persen konsorsium empat BUMN senilai hampir Rp 19 triliun. Sementara sisanya 75 persen berasal dari pinjaman dari Tiongkok kepada empat BUMN tersebut yang harus dilunasi selama 60 tahun,"ujar Yusril.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sebelum Bertemu Obama, Jokowi Temui Pebisnis AS
Redaktur : Tim Redaksi