jpnn.com - JAKARTA - Pembahasan RUU Migas agar segera disahkan menjadi UU mendesak dilakukan. Pasalnya, ada sejumlah pihak yang memaksakan agar revisi UU Migas ini tetap jalan di tempat.
Hal itu diungkapkan Fahmy Radhi, pemerhati energi dari Universitas Gajah Mada, ketika dikonfirmasi melalui telepon, Sabtu (22/10).
BACA JUGA: Percayalah, Jessica Bakal Divonis Tak Bersalah
"Kenapa pembahasannya sampai sekarang belum tuntas, padahal sudah dibahas sejak 2008, karena ada pihak yang ingin revisi UU Migas masih bersifat liberal, sama seperti UU Migas saat ini," ungkap dia.
Fahmy pun menduga berlarutnya pembahasan RUU Migas karena ada pihak-pihak yang masih menginginkan UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) saat ini tetap diberlakukan.
BACA JUGA: Pak SBY, Please Bicara soal Dokumen TPF Munir
"Jadi semacam seperti dibuat status quo agar UU Migas saat ini masih diberlakukan. UU Migas saat ini sangat liberal, jadi memang banyak yang menginginkan UU itu tetap berlaku, terutama para pemburu rente," jelas dia.
Dia menambahkan, di dalam UU Migas yang berlaku saat ini, PT Pertamina (Persero) ditempatkan sama dengan kontraktor-kontraktor asing lainnya sehingga dia harus ikut tender apabila ingin turut dalam pengelolaan migas.
BACA JUGA: Ahok Tak Segera Disentuh Polisi, FPI Siapkan Aksi Lebih Besar Lagi
"Ini jelas sangat merugikan Pertamina sebagai BUMN yang 100 persen sahamnya dimiliki negara. Semestinya pengelolaan migas terlebih dahulu diberikan kepada Pertamina sebagai perusahaan milik negara," ujar dia.
Baru apabila Pertamina tidak mampu, kata dia, kemudian diberikan kepada investor asing. "Seharusnya, liberalisasi menciptakan efisiensi. Namun, kini pemilik modallah yang akhirnya menguasai," jelas dia.
Fahmi lantas mendesak pemerintah dan juga DPR untuk segera menuntaskan pembahasan revisi UU Migas.
"Kalau tidak, alternatifnya dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Upaya melakukan perubahan harus segera dilakukan karena ini berbahaya sekali," katanya.
Fahmy menambahkan, dirinya pada Selasa (25/10) diundang oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk membahas percepatan RUU Migas.
Anggota Komisi VII DPR Kurtubi pernah berkomentar, komisinya pesimistis revisi UU 22/2001 bisa rampung akhir tahun ini, karena perdebatan substansi revisi oleh antarfraksi sangat alot.
"Lambatnya revisi UU Migas tidak bisa terhindarkan, karena seluruh fraksi di Komisi VII memiliki argumen dan pandangan terkait poin-poin revisi," ujarnya belum lama ini.
Poin krusial yang menjadi perdebatan, jelas Kurtubi, menyangkut posisi pemerintah terkait kuasa pertambangan migas.
Sesuai mandat konstitusi, imbuh dia, pemerintah tidak boleh terlibat dalam kegiatan hulu migas, tetapi punya kepanjangan tangan dengan menugaskan badan usaha khusus milik negara.
"Nah, pembicaraan mengenai status badan usaha inilah yang menyita waktu. Sejumlah fraksi mengusulkan dibentuk badan usaha khusus dan beberapa fraksi mendorong pemanfaatan BUMN yang sudah ada," ujarnya.
Kurtubi pun mengusulkan agar badan usaha khusus tersebut diserahkan kepada Pertamina.
Sebelumnya, Menteri ESDM Ignasius Jonan memastikan revisi UU Migas terus berjalan sebagaimana mestinya. Apalagi revisi ini merupakan salah satu inisiatif dari DPR, yang artinya agar bisa cepat rampung.
Jonan berkomentar, jika draf revisi UU Migas sudah sampai di tangan DPR, maka pasti akan diberitahukan kepada presiden. Setelah itu, Presiden akan memberikan mandatnya kepada Kementerian ESDM. (dil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemeriksaan Gatot Brajamusti Ditunda Lagi
Redaktur : Tim Redaksi