Harapan Indonesia Terkait Negosiasi Artikel 6 Paris Agreement

Jumat, 12 November 2021 – 01:51 WIB
Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Laksmi Dhewanthi. Foto: KLHK

jpnn.com, JAKARTA - Indonesia sangat berharap perundingan terhadap Artikel 6 dari Paris Agreement atau Perjanjian Paris, yang merupakan elemen dari “The Paris Rulebook” mencapai kesepakatan dalam forum negosiasi di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim PBB atau Conference of the Parties (COP26) yang diselenggarakan di Glasgow, Inggris.

Artiklel 6 Persetujuan Paris yang memuat pengaturan mekanisme kerja sama, termasuk perdagangan karbon atau carbon pricing ini penting agar instrumen mekanisme kerja sama pasar dan non-pasar ini bisa diefektifkan untuk mendukung capaian target emisi.

BACA JUGA: Cegah Dampak Perubahan Iklim, PUPR Bangun Saluran Pengendali Banjir di KEK Mandalika

Pembahasan artikel 6 ini salah satu yang ditunggu hasil negosiasinya dalam COP 26 ini karena elemen ini merupakan salah satu solusi atau kunci untuk mencapai target-target ambisi DNDC.

"Jadi, arahnya lebih ke upaya pencapaian target NDC. Tentu kita perjuangan posisi Indonesia sehingga manfaat hasil COP26 di Glasgow ini mendukung apa yang sudah kita rencanakan dan siapkan regulasinya di Indonesia,” ujar Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Laksmi Dhewanthi dalam pernyataan tertulis dari COP 26 Glasgow, Rabu (10/11/2021) mengenai perkembangan COP26, khususnya dalam pembahasan Artikel 6.

BACA JUGA: COP 26 Glasgow Membahas Potensi Unik Pertanian Demi Atasi Perubahan Iklim

Pasal 6 Paris Agreement yang berisi 9 ayat ini merupakan inti Perjanjian Paris. Kalau dari negara-negara pihak ini inti, dari Perjanjian Paris apabila para pihak membuat respons atas upaya-upaya mitigasi dan perubahan iklim.

Laksmi menjelaskan kesepakatan untuk pendekatan kerja sama ini menjadi penting untuk Indonesia dan negara lain karena kita sendiri atau semua negara pasti punya rencana dan target untuk memenuhi NDC-nya.

Indonesia juga menilai pendekatan mekanisme pasar dan non-pasar jadi salah satu pendekatan yang bisa dilakukan bagi solusi pendanaan atau insentif dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Menurut Laksmi, dalam peta jalan atau road map NDC Indonesia,  sudah mengenali instrurmen ini  menjadi salah satu instrumen yang akan digunakan  dalam implementasi NDC Indonesia.

Pada 29 Oktober 2021, sebelum Presiden Jokowi meninggalkan Indonesia menuju Roma dan dari Roma ke COP26 Glasgow, beliau menandatangani Pelpres nomor 98/2021 tentang  Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) untuk mendukung pencapaian NDC dan pengendalian emisi GRK dalam pembangunan.

“Kita tentu berharap hasil-hasil keputusan COP26 di Glasgow ini akan memperkuat penerapan regulasi yang sudah kita siapkan,” tambahnya.

Dalam Perlpes itu diperkenalkan 4 (empat) mekanisme Nilai Ekonomi Karbon, yakni:

1. Mekanisme perdagangan karbon di mana di dalamnya ada perdagangan emisi dan  offset emisi

2. Mekanisme pembayaran berbasis hasil atau result based payment.

3. Mekanisme  pungutan atas karbon

4. Mekanisme lainnya  yang bisa kombinasi satu–tiga atau ada metologi–metologi baru sesuai perkembangan.

Dalam Pasal 6 Perjanjian Paris ini membahas mekanisme kerja sama. Kerja sama sukarela antarnegara dalam pemenuhan target NDC-nya.

Melalui kerja sama ini, negara yang belum mampu memenuhi NDC-nya bisa membeli dari negara lain. Apa yang dibeli? Yang dibeli adalah International Transferred Mitigation Outcomes (ITMOs) untuk membantu memenuhi target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK).

Mekanisme ke-2 perdagangan karbon global antara pelaku usaha dan sektor publik. Di mana sektor publik yang mempunyai kewajiban untuk memenuhi batas atas emisi dapat membeli karbon kredit dari kegiatan mitigasi.

Kerja sama antarnegara melalui berbagai kegiatan untuk memenuhi NDC dari negara-negara berkembang. Misalnya kerja sama pelatihan, ketahanan iklim, mitigasi dan adaptasi dan sebagainya. Untuk kerja sama ketiga ini tidak ada perpindahakan karbon.

Tunggu Finalisasi

Laksmi Dhewanthi yang tengah berada di Glasgow mengungkapkan saat ini sedang dirundingkan adalah operasionalisasi elemen-elemen Pasal 6 Paris Agreement ini atau pengaturan penerapan pasal ini agar bisa diterapkan secara efektif.

Saat ini, perundingan memasuki hari kedua di minggu ke-2 pelaksanaan COP26. Untuk Artikel 6 ini pembahasan pada tingkat tehnis dianggap sudah selesai tapi belum mendapat finalisasi keputusan, sehingga oleh presidensi dilanjutkan pembahasan atau negosiasi pada tingkat menteri.

Presiden COP26 telah menunjuk 2 (dua) orang Menteri (yang mewakili kelompok negara maju dan kelompok negara berkembang) untuk menjadi co-facilitator bagi pembahasan Artikel 6.

Jadi, mulai Senin dan Selasa kemarin pembahasan sudah mulai lagi pada tingkat yang lebih tinggi (tingkat Menteri), berbeda dengan minggu pertama di mana pembahasan dilakukan oleh para negosiator di tingkat teknis.

Diharapkan banyak hal-hal bisa diselesaikan, mengingat  di dalam ayat ayat di Artikel 6, masing masing ada tantangan tersendiri yang perlu pembahasan mendalam.

“Kami masih terus melakukan negosiasi-negosiasi. Di minggu pertama sudah punya teks narasi untuk bahan negosiasi,” ujar dia.

Dia menambahkan untuk Artikel 6 sudah ada 4 (empat) iterasi teks  negosiasinya namun tetap belum selesai dan masih butuh waktu untuk kembali melakukan negosiasi,”ucap Laksmi.

Semua negara pihak, termasuk Indonesia berharap COP 26 dapat menghasilkan keputusan yang substantial terkait elemen-elemen Artikel 6 Perjanjian Paris.(jpnn)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler