Harapan setelah "Pesta Pora Demokrasi"

Oleh: A. Mustofa Bisri*

Minggu, 20 Juli 2014 – 07:17 WIB

jpnn.com - SEJAK reformasi, kita sudah mengalami beberapa kali pemilihan umum (pemilu). Mulai pemilu kepala daerah (pilkada), pemilu legislatif (pileg), hingga pemilu presiden-wakil presiden (pilpres). Alhamdulillah, selama ini pemilu-pemilu itu relatif berjalan tertib, aman, dan damai. Sehingga konon membuat negara-negara lain, termasuk yang sudah mapan demokrasinya, berdecak kagum.

Tapi, pilpres kali ini sungguh luar biasa. Saya kira belum pernah ada gawe nasional yang menyedot energi bangsa sebegitu dahsyat seperti pilpres kali ini. Pilpresnya sendiri yang dilaksanakan pada 9 Juli 2014, seperti pemilihan-pemilihan yang lalu, berjalan lancar, tertib, aman, dan damai. Namun, sebelum dan sesudah itu bukan main.

BACA JUGA: Rindu Kanjeng Nabi

Sejak masing-masing calon melakukan penjajakan dan pendekatan terhadap pasangannya hingga pencalonan ditetapkan KPU, suasana politik benar-benar merupakan ”pesta demokrasi” yang luar biasa gegap gempitanya. ”Pesta pora demokrasi” yang dahsyat kali ini melibatkan hampir seluruh elemen dan lapisan masyarakat dari berbagai etnis dan agama. Melibatkan semua kalangan mulai yang paling elite hingga yang paling awam. Mulai politisi yang paham politik hingga politikus yang baru belajar politik. Bahkan termasuk mereka yang selama ini mencitrakan diri sebagai yang ”antipolitik”.

Melibatkan petinggi-petinggi negeri, jenderal-jenderal, para akademisi, para budayawan, artis-artis, para cendekiawan, hingga para ustad dan kiai. Semuanya bergelora dengan antusiasme berkobar-kobar mirip semangat jihad melawan penjajah. Tak ketinggalan pers dan socmed ikut menghebohkan suasana.

BACA JUGA: Ayat Tembakau Hilang Disengaja, Bisa Dipidana

Kenyataannya, pada waktu pelaksanaan pilpres 9 Juli lalu, partisipasi masyarakat pun luar biasa. Persentase pemilih naik dari pemilu-pemilu sebelumnya. Antusiasme dan gairah masyarakat yang sedemikian besar, dari satu sisi, dapat diartikan sebagai kesadaran dan kepedulian terhadap tanah air serta masa depan bangsa dan negara.

Para pendukung dan jurkam masing-masing capres-cawapres boleh mengklaim ini sebagai buah jerih payah mereka. Para kiai dan ustad boleh merasa ini sebagai salah satu hasil ”fatwa” tentang wajibnya nasbul imaamah yang selama ini mereka kumandangkan. Orang boleh merasa optimistis bahwa kesadaran berdemokrasi sudah meningkat.

BACA JUGA: Marhaban Ya Ramadan

Namun, dari sisi lain, saya melihat ”semangat” yang sejak awal dikobarkan melebihi takaran itu lebih dipicu fanatisme pendukungan. Sikap berlebihan dari semua pihak, terutama pendukung dan relawan, menunjukkan hal itu. Sikap berlebihan yang sudah sampai menghilangkan nalar sehat dan menghalalkan segala cara. Para petinggi yang selama ini selalu mengagung-agungkan nilai-nilai luhur seperti Pancasila dan Sapta Marga pun banyak yang seolah-olah lupa akan sila-silanya.

Para kiai dan ustad yang selama ini mendakwahkan agar berpegang teguh kepada Alquran dan sunah Rasulullah SAW pun banyak yang seperti kehilangan ayat-ayat dan hadis-hadisnya. Kita semua seperti terkena wabah ”demam pilpres” hingga mengabaikan nilai-nilai mulia yang selama ini kita pegang teguh. Bahkan, kesucian Ramadan pun seperti tak sanggup mengekang nafsu fanatisme dan meredakan ”demam” tersebut. Kubu-kubu pun saling berhadapan tidak hanya di antara kalangan partai politik, tapi juga di berbagai kalangan, termasuk di kalangan kiai. Astagfirullah.

Yang lebih memprihatinkan lagi, sikap tatharruf dan berlebihan itu tidak berhenti setelah semua pihak mencoblos pilihannya. Euforia itu masih terus berlanjut. Kampanye hitam masih terus dilancarkan, seolah-olah kita bukan saudara sebangsa yang sedang memilih pemimpin bangsa yang satu, tapi sedang berjihad melawan musuh. Nauzubillah.

Semoga setelah pengumuman KPU 22 Juli nanti semua sudah kembali dapat berpikir jernih dan menyadari bahwa –setelah usaha dan perjuangan kita memenangkan calon kita– pada akhirnya Tuhan, Allah Yang Maha Esa, jua yang menentukan (QS 3 : 26). Sehingga apa pun keputusan KPU nanti, semuanya bisa menerima dengan lapang dada dan jiwa kesatria.

Untuk itu dan untuk kepentingan kita bersama, para petinggi dan sesepuh bangsa, termasuk para capres-cawapres sendiri, kiranya dapat mengondisikan hal tersebut. Terutama para kiai yang diharapkan sudah dapat menghilangkan ’ashabiyah sementara mereka dan kembali ke watak dasar mereka: menyayangi umat dan berkhidmat untuk Indonesia. Dengan mengupayakan kembalinya ukhuwah dan persaudaraan di antara anak bangsa serta menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Semoga Allah mengampuni, merahmati, dan memberikan hidayah kepada kita semua serta senantiasa menjaga Indonesia kita, amin.


*) Budayawan, Rais Am Syuriah PB NU

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Celaka 13!


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler