jpnn.com, JAKARTA - Sistem pendidikan Indonesia masih banyak menghadapi tantangan dalam upaya meningkatkan kualitas peserta didik.
Para pemangku kebijakan (stake holder) pun perlu memperkuat kolaborasi dalam mencari terobosan perbaikan sistem pendidikan nasional.
BACA JUGA: Hardiknas 2024: Pertamina Goes To Campus Siap Hadir di 15 Kampus, Catat Waktunya!
“Kami menilai saat ini perlu peningkatan kolaborasi antara penyelenggara pendidikan dan masyarakat untuk memastikan kebijakan arah pendidikan kita tidak bersifat top down. Selain itu kolaborasi ini dibutuhkan untuk menentukan prioritas kebijakan penyelenggara pendidikan agar sesuai dengan masalah yang ada di lapangan,” ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda di sela-sela Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2024 di Jakarta, Kamis (2/5/2023).
Huda mengatakan capaian sistem pendidikan Indonesia saat ini masih belum terlalu mengembirakan.
BACA JUGA: Peringati Hardiknas, Greebel Ajak 6.000 Anak TK Senam Bareng
Hal itu bisa dilihat dari beberapa indikator seperti tingkat rendahnya kemampuan dasar siswa dalam bidang literasi, sains, dan matematika, masih belum tuntasnya persoalan kesejahteraan guru, hingga sempitnya akses pendidikan tinggi di tanah air.
“Ironisnya berbagai tantangan besar tersebut terkesan dihadapi dengan kebijakan-kebijakan yang bersifat top down dan mempersempit keterlibatan masyarakat sipil di bidang pendidikan,” katanya.
Dari data Human Capital Indeks (HCI) Bank Dunia, kata Huda, kualitas potensi sumber daya manusia (SDM) Indonesia dinilai masih kalah jauh dari Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Thailand.
Indonesia hanya menduduki peringkat 96 dari 173 negara. Sementara Singapura menduduki peringkat 1, Vietnam 38, Malaysia 62, dan Thailand 63.
“Faktor yang membuat jeblok peringkat HCI Indonesia adalah rendahnya skor Indonesia dalam PISA dan tingginya pravelensi stunting anak-anak kita,” kata Huda
Hasil tes PISA Indonesia, lanjut Huda memang menunjukkan kemampuan siswa Indonesia dalam literasi, sains, dan matematika relatif tertinggal dari negara lain. Pada 2022, skor PISA Indonesia untuk literasi 359, sains 383, dan matematika 379.
Capaian ini jauh tertinggal dari siswa Singapura di mana tingkat literasi 543, sains 561, dan matematikan 575.
“Bahkan Indonesia tertinggal dari Vietnam di mana kemampuan literasi siswanya mencapai skor 462, sains 472, dan matematika 469,” katanya.
Kebijakan Merdeka Belajar, kata Huda juga dinilai banyak kalangan belum benar-benar memberikan kemerdekaan bagi penyelenggara pendidikan merumuskan praktik belajar mengajar terbaik sesuai kebutuhan peserta didik.
Dalam praktiknya kebijakan Merdeka Belajar masih terjebak pada kegiatan teknis-administratif yang memberatkan guru dan tenaga kependidikan.
“Penetapan Kurikulum Merdeka mulai tahun ajaran 2024/2025 juga menjadi kendala tersendiri meskipun ada masa penyesuaian hingga dua tahun kedepan,” katanya.
Politikus PKB ini berharap agar pemerintah memprioritaskan penyelesaian pengangkatan satu juta guru menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Langkah ini untuk memastikan solusi kesejahteraan guru yang menjadi masalah akut dari waktu ke waktu.
“Dalam pandangan kami kesejahteraan guru ini menjadi kunci bagi apapun inovasi dalam peningkatan mutu sistem pendidikan kita. Jika guru sejahtera maka apapun kurikulumnya, apapun kompetensi peserta didik yang hendak dikembangkan, apapun metode belajar mengajar yang dipilih probabilitas keberhasilannya akan lebih tinggi,” kata Huda.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari