Harga Garam Naik 500 Persen, Nelayan Pesisir Tiku Berhenti Produksi Ikan Kering

Kamis, 27 Juli 2017 – 16:36 WIB
Nelayan pesisir Pantai Tiku, Agam, Sumatera Barat. Foto: padangekspres/jpg

jpnn.com, AGAM - Nelayan pesisir Pantai Tiku dikabarkan berhenti memproduksi ikan kering. Hal itu akibat melonjaknya harga garam.

Dibandingkan tiga bulan lalu, kenaikan harga garam akhir Juli ini mencapai 500 persen. Harga bahan baku utama untuk pengeringan ikan tersebut dirasakan semakin tidak masuk akal.

BACA JUGA: Harga Garam Naik 500 Persen, Kasihan Nelayan Produsen Ikan Kering

Para nelayan yang tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama (KUB) pengolahan ikan kering semakin mengeluhkan kian melambungnya harga garam. Selisih kenaikan dirasakan sangat tinggi.

Tiga bulan sebelumnya, nelayan membeli garam seharga Rp 1.500 per kilo atau sekarung isi 50 kilogram dapat dibeli Rp 75 ribu.

BACA JUGA: Pasokan Kurang, Harga Garam di Bangka Merangkak Naik

Harga itu terus mengalami kenaikan. Sebulan lalu, dikabarkan harga per kilogram mencapai Rp 5 ribu atau Rp 250 ribu per karung. Kenaikan harga mencapai 300 persen.

Parahnya, akhir Juli ini harga garam mencapai Rp 400 ribu per karung. Kenaikan dirasakan nelayan sudah mencapai 500 persen.

BACA JUGA: KKP Susun PM Pengendalian Impor Garam

”Itu pun harga eceran saat kami beli di Padang. Jika kami beli di Tiku, harganya naik lagi sekitar Rp 20 ribu sekarung,” ujar nelayan pengolah ikan yang juga mantan Jorong Pasia Tiku, Zawirman kepada Padang Ekspres (Jawa Pos Group), Selasa (25/7).

Melambungnya harga garam, lanjut Zawirman, menyebabkan sejumlah rekannya berhenti produksi. Kalaupun ada yang terus berproduksi, jumlah produksi ikan kering nelayan tidak sebanyak hari biasanya. Di Pantai Tiku saja, ada sekitar 50 nelayan yang menggantungkan hidupnya dari ketersediaan garam.

Sehari, menurut perhitungannya, kebutuhan garam terhadap 300 kilogram ikan basah setara 40 kilogram. ”Jika diperkirakan tiap lapak nelayan dapat memproduksi 60 kilo ikan kering, maka sehari nelayan khususnya di Pantai Tiku dapat memproduksi 3 ton ikan kering. Artinya kami membutuhkan minimal 400 kilogram garam sehari,” ujarnya.

Hal itu, belum lagi mengingat kebutuhan yang serupa bagi nelayan di Masang, Labuhan, Muaroputuih, Tiagan dan daerah lainnya di pesisir laut Tanjungmutiara.

”Kami terpaksa membeli ke Padang, karena koperasi di Tiku yang dulu pernah memproduksi garam sejak beberapa tahun terakhir telah tutup. Hingga hari ini, kami baru dapat mengeluh, kami sudah coba sampaikan aspirasi ini kepada anggota dewan di DPRD Agam, namun belum ada tanggapan,” imbuhnya.

Kepala Dinas Perikanan dan Ketahanan Pangan (DPKP) Agam, Ermanto membenarkan kondisi tersebut. Menurutnya, melonjaknya harga garam dikarenakan produksi garam di Indonesia sangat terbatas.

Produksi garam dipengaruhi faktor cuaca. Sekarang cuaca di laut Jawa kurang bagus, sehingga petani garam tidak bisa berproduksi maksimal.

”Produksi garam kan hanya di laut Jawa. Sementara, saat ini cuaca tidak bagus, sehingga petani garam tidak bisa memproduksi garam dengan maksimal,” ujar Ermanto.

Ermanto mengaku, tidak dapat berbuat banyak sebab pihaknya juga kesulitan dalam mendapatkan garam. Usaha pembuatan batu es yang dikelola DPKP Agam juga membutuhkan garam sebagai bahan baku produksi. ”Setiap bulannya DPKP Agam butuh garam hingga dua ton untuk produksi batu es,” ujar Ermanto. (r)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemerintah Bentuk Tim Verifikasi Kelangkaan Garam


Redaktur & Reporter : Budi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
garam   nelayan   ikan kering  

Terpopuler