jpnn.com - JAKARTA - Kebijakan pemerintah menghapus bea masuk (BM) impor kedelai terbukti tidak efektif menurunkan harga kedelai yang menjadi bahan baku utama tahu tempe. Disisi lain, penghapusan bea masuk itu akan sangat menguntungkan negara produsen kedelai terbesar dunia, Amerika Serikat.
Harga kedelai yang harus dibayar perajin tahu dan tempe rata-rata masih tinggi yaitu Rp 9.500 perkilogram. Padahal pemerintah telah menghapus bea masuk impor kedelai dari lima persen menjadi nol persen sejak 3 Oktober 2013. Saat masih normal, harga kedelai di pasaran antara Rp 6.000-7.500 per kilogram.
BACA JUGA: Bank Dunia Yakin Indonesia Bakal Atasi Tekanan
Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Bachrul Chairi mengakui masih tingginya harga kedelai di pasaran saat ini. Padahal pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan pembebasan bea masuk untuk menambah pasokan kedelai di dalam negeri."Secara rumus kebijakan itu seharusnya memang efektif untuk menurunkan harga," ujarnya kemarin (8/11).
Dia menilai ada beberapa hal lain yang menyebabkan harga kedelai, terutama yang impor masih tinggi. Pertama, kondisi ini disebabkan masih melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD)."Depresiasi nilai tukar rupiah sudah 15 persen lebih bahkan sampai 20 persen, otomatis harga komoditi impor juga melonjak mengikuti kurs," terangnya.
Sedangkan faktor lainnya yang menjadi pemicu tingginya harga kedelai di dalam negeri adalah minimnya hasil panen di pusat sentra produksi kedelai di Amerika Serikat."Sekarang di Amerika belum panen, jadi stok masih menipis dan harga akan meningkat. Nanti kalau sudah panen raya harga pasti akan turun kembali," tukasnya.
BACA JUGA: Cabai Merah Tembus Rp55 Ribu per Kg
Bachrul mengungkapkan secara detil stok kedelai di dalam negeri hingga akhir Oktober 2013 sebesar 125 ribu ton. Jumlah ini akan terus bertambah karena akhir tahun nanti kedelai impor akan kembali masuk sebanyak 260 ribu ton. "Sampai akhir bulan ini (November 2013) sekitar 150 ribu ton itu, kalau dikurangi konsumsi jadi sekitar 120 ribu ton," lanjutnya.
Pengamat pertanian,Siswono Yudho Husudo mengatakan, dengan bea masuk nol persen, pemerintah semakin menjauhkan Indonesia dari target swasembada kedelai. Padahal, Presiden SBY pada 2014 menargetkan swasembada pangan seperti kedelai, gula, jagung dan daging."Kebijakan nol persen berasal dari tekanan asing, supaya kedelai Amerika Serikat membanjiri Indonesia," sambungnya.
BACA JUGA: Pertagas Niaga Berkomitmen Tingkatkan Pasokan Gas
Menurut Siswono, petani di Indonesia tidak memiliki semangat untuk menanam kedelai karena tidak adanya perhatian serta dukungan dari pemerintah. Lahan yang disiapkan untuk penanaman kedelai juga menyusut dari tahun ke tahun."Pada tahun 1998 lahan untuk menanam kedelai masih 1,6 juta hektar, namun sekarang menyusut sampai 700 ribu hektar," jelasnya. (wir/oki)
BACA ARTIKEL LAINNYA... PGN Siap Tingkatkan Infrastruktur Gas Bumi Dalam Negeri
Redaktur : Tim Redaksi