Hari Maritim: Beribu Maaf, Sriwijaya Bukan Nama Kerajaan

Minggu, 23 September 2018 – 08:14 WIB
Wenri Wanhar, di tengah samudra. Foto: Instagram

jpnn.com, MUARO JAMBI - Sepasang buku karya sejarawan Wenri Wanhar berjudul 'Sri Buddha Bukan Sriwijaya' dan 'Bangsa Pelaut Kisah Setua Waktu' menjadi menu pembahasan dalam musyawarah di altar kedaton Candi Muara Jambi, Minggu (23/9) siang.

Musyawarah ini bukan tak ada angin tak ada hujan. Rembuk yang akan dihadiri tokoh adat, pegiat budaya, peneliti sejarah, mahasiswa dan pecandu ilmu pengetahuan ini digelar dalam rangka Hari Maritim Nasional yang jatuh tepat hari ini.

BACA JUGA: Aliran Emas & Selayang Babakan Sejarah dari Asian Games 1962

Peringatan Hari Maritim atau boleh juga disebut Hari Bahari di Kompleks Candi Muara Jambi siang nanti digagas oleh Seloko Institute, Yayasan Padmasana dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jambi.

Wenri Wanhar, si peracik sepasang buku tadi, mengusung reportase sejarah. Pria yang juga redaktur di JPNN.com ini membaca atau meriset lalu menyajikan kembali dengan teknik jurnalistik.

BACA JUGA: Pada 17 Agustus 1966, Bung Karno bercerita…

Berikut pengakuannya. (kda/jpnn)

Kisah sepasang buku ini buah karya, buah pikir, buah peluh orang banyak. Gotong royong semua makhluk, dari segala unsur. Beta hanya merangkainya.

BACA JUGA: Bung Karno: Saat Proklamasi 17 Agustus, Indonesia Punya Apa?

Ritual sirih sekapur di altar Kedaton, Candi Muara Jambi sebuah penghormatan kepada leluhur, para empunya masa lampau, sebelum kedua naskah itu naik cetak jadi buku.

Layaknya sepasang kekasih, kedua naskah ini saling melengkapi.

Sadarah…

Kami haturkan sirih sekapur. Lengkap sarato pinang. Dengan menautkan sembah jari nan sepuluh, ampun beribu ampun. Membentang warih nan bajawek, pusako dari niniak turun ka mamak, mamak turun ka kamanakan, perkenankan kami bercerita.

Saudara…

Kabar dari masa lampau yang kita ketengahkan ini, semangatnya jauh dari merasa bahwa peradaban kita-lah yang paling tua. Apalagi menganggap paling hebat. Bukan! Bukan itu.

Karena kita tahu dunia ini milik bersama, maka kita tidak sedang menggadang-gadang neo-primordialisme. Tidak pula membangun sentimen rasisme.

Kita hanya bercerita apa adanya. Tak penting menganggap cerita kita inilah yang paling benar. Cerita ini cuma seganggam daun kebenaran, di antara rimbunnya dedauan di hutan.

Nah, karena hari ini tumbuh dari masa lalu. Sepanjang yang berhasil dijangkau, lebih kurang, inilah masa lalu kita…

Alangkah bersemangatnya para penemu teori Kerajaan Sriwijaya.

Mereka menafsir kata “sribuza”, “sriboga”, “cha-li-fo-cha”,“shih-li-fo-shih”, “san fo tsi” yang bersebut dalam berita Arab dan berita Cina pada awal masehi menjadi “sriwijaya”.

Karena terlampau bersemangat, kata “zabag” pun secara serampangan mereka belokkan jadi “sriwijaya”.

Ketimbang “sriwijaya”, bila dibunyikan, bukankah “san fo tsi” dalam berita Cina itu terdengar “sang bhodi”? dan “shih-li-fo-shih” lebih cocok—berdasarkan dialek dan aksara Cina lebih kena dibaca “sri bhodi”?

Bagaimana dengan “cha-li-fo-cha”,“sribuza” dan “sriboga”? Sungguh--ini tak mungkin keliru--lebih tepat dibaca SRI BUDDHA.

Demi ilmu pengetahuan...maaf beribu maaf. Sriwijaya bukan nama kerajaan. Bukan pula nama seorang raja.

Kekuatan maritim berpengaruh pada masa lampau, yang tumbuh subur di Kepulauan Hindia—negeri yang hari ini bernama Indonesia--adalah SRI BUDDHA.

Sriwijaya memang muncul dalam sejumlah prasasti dan batu bersurat. Dan, seluruhnya diiringi kata kedatuan dan datuk.

Ya, Sriwijaya memang kedatuan; kedaton!

Semacam civitas akademika. Perguruan tinggi. Kampus tempat orang mengampuh ilmu.

Karena keilmuwannya yang ber-“alam luas berpadang lebar”, alumni kedaton disebut dato; datu; datuk; datuak.

Da bahasa sanskerta artinya yang mulia, to artinya orang. Manusia-manusia mulia yang dimajukan selangkah ditinggikan seranting.

Nah, di mana kedatuan atau kampus Sriwijaya?

Hingga hari ini, rakyat di kawasan CANDI MUARA JAMBI masih menyebut belantara rimba, ladang duku di antara reruntuhan batu bata dari masa lampau ini, dengan nama KEDATON. Candi Kedaton. Tempat sekarang kita berunding.

Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta... *

BACA ARTIKEL LAINNYA... Koleksi Dokumen Sejarah Indonesia Banyak Disimpan Monash University


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler