Dokumen dalam bentuk buku-buku, jurnal, koran, majalah, hingga arsip nasional seperti naskah pidato kepresidenan Republik Indonesia masih tersimpan rapih di Melbourne, Australia.

Perpustakaan Monash University di kawasan Clayton menjadi rumah dari koleksi catatan sejarah bangsa Indonesia, bahkan sejak masih dibawah jajahan pemerintahan Hindia Belanda.

BACA JUGA: Cerita Tatkala Laut Marah

Dengan ribuan dokumen yang dimilikinya, koleksi Indonesia di Perpustakaan Monash University disebut-sebut memiliki koleksi terbanyak kedua setelah Leiden University di Belanda.

Bahkan menurut Dr Rheny Pulungan, pustakawati yang mengelola koleksi Indonesia, Perpustakaan Monash University inginkan memiliki koleksi terbesar kajian Indonesia di dunia untuk alasan akademis.

BACA JUGA: Terseret Skandal Cabul, Uskup Agung Adelaide Lengser

"Monash University ingin terus mendukung studi tentang Indonesia, termasuk bahasa Indonesia, baik bagi siswa dan peneliti yang ada universitas kami," ujar Dr Rheny.

Saat ABC Indonesia datang ke Perpustakaan Monash, Koleksi Indonesia berada di lantai bawah gedung 'Matheson Library' dan sempat melihat juga hampir 1.500 buku-buku klasik yang diterbitkan penerbit Balai Pustaka.

BACA JUGA: Pengakuan Akademisi Australia untuk Kiprah Politik Cak Imin

Balai Pustaka adalah penerbitan Indonesia yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908.

Koleksi yang dimiliki berasal dari kurun waktu 1911 hingga 1980, dengan koleksi terbanyak di tahun 1920-an sampai 1930-an.

"Kita memiliki koleksi Balai Pustaka khususnya untuk karya sastra, seperti salah satunya adalah novel 'Layar Terkembang' karya Sutan Takdir Alisjahbana, yang sangat penting saat itu karena menceritkan pergulatan para anak-anak muda, soal nasionalisme, dan pergerakan gender," jelas Dr Rheny.

Dr Rheny mengatakan koleki Balai Pustaka juga memiliki karya sastra tradisional dalam sejumlah bahasa daerah, serta novel dari bahasa lain, seperti dalam bahasa Belanda yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia.

Koleksi lain yang juga tak kalah bernilai adalah koleksi sejarah Indonesia dengan jumlah 5.000 volume soal Indonesia sejak jaman pemerintah Hindia Belanda.

Ada pula koleksi Charles Coppel, yang pernah melakukan riset soal etnis China di Indonesia.

Dalam koleksi ini, Anda bisa mempelajari soal kepercayaan etnis Cina hingga mistis Jawa. Ada pula sejarah gerakan asimilasi etnis China di Indonesia pada tahun 1960. Tak ketinggalan pula catatan soal aksi kejahatan terkait sentimen anti-China akhir 1990an. Minat kajian Indonesia menurun

Meski keberadaan koleksi Indonesia dimaksudkan untuk mendukung studi dan penelitian lebih banyak soal Indonesia, sayang minat kajian Indonesia di Australia telah menurun.

Tapi Dr Rheny berpendapat bahwa mempertahankan Koleksi Indonesia di Perpustakaan Monash University tetaplah penting.

"Alasan terpenting adalah karena ini merupakan sumber informasi di luar indonesia bagi para pelajar dan peneliti yang sedang melakukan riset bersama Monash, karenanya kita harus mempertahankannya."

"Di Indonesia sendiri mungkin sudah jarang kita temukan koleksi-koleksi seperti ini, bayangkan mulai dari pemerintahan kolonial Belanda," tambah Dr Rheny kepada ABC Indonesia.

"Jadi untuk kepentingan penelitian di masa depan penting untuk mempertahankan koleksi ini."

Sebagai pustakawati Dr Rheny terus berusaha membangun minat kajian Indonesia diantaranya dengan mempromosikan koleksi Indonesia, buku-buku, majalah, karena mahasiswa sendiri tidak tahu jika kita memiliki koleksi yang sangat kaya."

Ia berharap menurunnya minat kajian Indonesia tidak akan mempengaruhi Koleksi Indonesia yang ada di Perpustakaan Monash University.

BACA ARTIKEL LAINNYA... #2019GantiPresiden Go International: Dari Australia ke Qatar

Berita Terkait