Harmoko

Senin, 05 Juli 2021 – 14:46 WIB
Harmoko (2007). Foto: ANTARA/FOURI GESANG SHOLEH

jpnn.com - Harmoko (1939-2021) menjadi salah satu ikon Orde Baru yang paling menonjol dan paling mudah dikenal.

Penampilannya khas dan gaya komunikasinya unik.

BACA JUGA: Pak Harmoko Si Pencetus Kelompencapir Itu Meninggal Dunia

Rambut klimis, baju safari, dan kalimat "atas petunjuk Bapak Presiden" menjadi trade mark khas Harmoko.

Rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto bertahan selama 32 tahun, dan Harmoko bisa menjadi menteri selama 14 tahun, hampir separuh umur rezim.

BACA JUGA: Pak Harmoko Meninggal, Roy Suryo: Selamat Menghadap Sang Khalik

Pak Harto pasti melihat Harmoko mempunyai kemampuan tersendiri, sehingga menjadikannya sebagai salah satu bagian penting dalam operasionalisasi mesin rezim.

Rezim Orde Baru adalah rezim teknokrat, para menteri diambil dari profesional dan ilmuwan kampus yang punya kemampuan khusus di bidang tertentu. 

BACA JUGA: Di Permakaman, Roy Suryo dan Harmoko Tidak Lari Meski Ada Angin Kencang

Pembangunan ekonomi menjadi kredo utama Orde Baru, dan Pak Harto menunjuk teknokrat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI) sebagai tulang punggung kebijakan ekonomi pembangunanisme.

Pak Harto juga memperkenalkan konsep Dwi Fungsi ABRI yang menjadikan tentara bukan sekadar sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan, tetapi sekaligus kekuatan sosial dan politik.

Konsep yang digagas oleh Jenderal A.H Nasution ini dimanipulasi Pak Harto dengan menjadikan ABRI sebagai kekuatan politik yang mendominasi posisi-posisi strategis di pemerintahan.

Di bidang ekonomi, Prof. Widjojo Nitisastro menjadi empu yang mendesain ekonomi nasional yang didasarkan pada periodesasi lima tahunan yang dikenal sebagai Repelita, rencana pembangunan lima tahun.

Widjojo membawa serta anak buahnya alumni Berkeley University, Amerika Serikat, untuk mengisi pos-pos penting ekonomi.

Di bawah pimpinan Widjojo Nitisastro, mereka diberi kepercayaan Soeharto untuk menjalankan pembangunan ekonomi Indonesia.

Karena sebagian besar mereka merupakan lulusan doktor dan master dari University of California at Berkeley pada 1960-an, maka mereka dijuluki "Berkeley Mafia."

Dengan ilmu makroekonomi yang mereka dapatkan dari Berkeley, mereka menetapkan berbagai kebijaksanaan ekonomi dan deregulasi ekonomi Indonesia yang macet pada masa pemerintahan Soekarno.

Mereka kemudian dikenal sebagai arsitek di balik kebijakan-kebijakan ekonomi yang menjadi legitimasi utama Orde Baru.

Nama-nama seperti Emil Salim, Ali Wardhana, J.B Sumarlin, Subroto, Saleh Affif, adalah nama-nama ekonomi liberal yang selama tiga dasawarsa mengendalikan ekonomi, dan sukses membawa pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh pada kisaran tujuh persen per tahun.

Indonesia pun masuk dalam jajaran Macan Asia bersama Thailand, Korea Selatan, dan Taiwan.

Harmoko masuk dalam set up besar Orde Baru.

Meskipun bukan teknokrat, tetapi Harmoko punya kemampuan komunikasi yang dianggap pas dengan gaya Orde Baru.

Latar belakangnya sebagai wartawan membuatnya nyaman dalam berkomunikasi dengan media.

Kontrol terhadap media menjadi salah satu kebijakan paling penting Orde Baru, dan Harmoko menjadi bagian penting dalam rezim.

Salah satu strategi pembangunan ekonomi Orde Baru adalah mengendalikan inflasi dan menjaga stabilitas harga-harga.

Mafia Berkeley memastikan kebijakan itu berjalan dengan baik, dan Harmoko bertugas menjadi corong untuk mengomunikasikan kebijakan stabilisasi harga.

Karena itu, tiap hari media pemerintah mengumumkan harga-harga berbagai komoditas, termasuk harga cabai keriting dan bawang merah.

Hal ini dilakukan untuk menjamin harga-harga di pasar stabil dan terjangkau.

Setiap kali mengumumkan kebijakan pemerintah, Harmoko mengadakan jumpa pers dan akan mengawali pernyataannya dengan ungkapan "atas petunjuk Bapak Presiden".

Ungkapan ini menjadi trade mark paling distingtif dari Harmoko. Ungkapan ini juga menunjukkan bahwa semua kebijakan yang diambil sudah mendapat persetujuan Pak Harto.

Gaya komunikasi politik Harmoko dianggap membosankan. Para pengkritiknya menyebut komunikasinya sekadar omong kosong tanpa makna. Nama Harmoko pun diplesetkan menjadi ‘’hari-hari omong kosong’’.

Kekuasaan Orde Baru yang sentralistis memastikan bahwa Pak Harto mengontrol semua kebijakan, dan memastikan kebijakan itu bisa berjalan tanpa distorsi.

Komunikasi politik Orde Baru selalu tegak lurus dari atas ke bawah tanpa ada deviasi. Harmoko memainkan peran penting dalam strategi komunikasi politik itu.

Kontrol terhadap media menjadi kebijakan paling inti untuk menjamin stabilitas politik dan keamanan. Pembangunanisme tidak akan berjalan jika tidak ada stabilitas politik. Karena ini partai politik ditertibkan dengan melakukan fusi, penggabungan partai-partai menjadi dua partai dan satu Golongan Karya.

Partai-partai berbasis nasionalis digabungkan menjadi PDI (Partai Demokrasi Indonesia), dan partai-partai berasaskan Islam digabung dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan).

Golongan Karya (Golkar) bentukan Orde baru tidak disebut sebagai partai, karena rezim Orde Baru melakukan stigmatisasi terhadap parpol sebagai biang kerok kekacauan ekonomi dan politik di era Orde Lama.

Dengan menyebut diri sebagai "golongan" Golkar menjaga jarak dari politik dan lebih banyak melakukan "karya".

Golkar menjadi mesin politik yang sangat efektif untuk menjamin keberhasilan rezim. Pak Harto mengendalikan Golkar langsung dengan tangannya. Sebagai ketua Dewan Pembina Pak Harto berkuasa mutlak atas Golkar.

Tidak sembarang orang bisa menjadi ketua Golkar. Hanya orang-orang kepercayaannya yang diberi mandat untuk memimpin Golkar. Sudharmono, menteri sekretaris negara, menjadi ketua Golkar, dan Harmoko juga menjadi ketua Golkar.

Jabatan menteri penerangan menjadi inheren dengan Harmoko. Stabilitas politik tidak akan tercapai kalau media tidak ditertibkan.

Pak Harto menyerahkan tugas ini kepada Harmoko yang menjalankannya dengan cukup baik. Konsep pers bebas bertanggung jawab yang menekankan pada self-censorship muncul di era Harmoko. Pers tetap bebas, tetapi harus bertanggung jawab terhadap kebebasannya.

Ini merupakan gaya represif halus yang sangat khas rezim Orde Baru. Tidak pemberedelan terhadap media, tetapi setiap saat izin usahanya bisa dicabut.

Media bebas melakukan kritik, tetapi ada tabu-tabu yang tidak boleh disentuh. Media boleh melakukan apa saja asal jangan menyentuh jubah sang raja.

Mempermasalahkan Dwi Fungsi ABRI dan mempertanyakan keluarga Cendana dianggap sebagai tabu yang harus dihindari oleh media.

Di masa Orde Baru media melakukan kritik dengan cara kepiting, berjalan merambat pelan-pelan dan sesekali menggigit dengan lembut.

Dengan begitu media bisa selamat dari ancaman rezim. Departemen Penerangan yang dipimpin Harmoko bertindak seperti Departemen Kebenaran yang menjadi satu-satunya sumber berita yang absah.

George Orwell dalam novel "Nineteen Eighty Four" menggambarkan The Big Brother yang mengontrol seluruh kehidupan warga.

Bahkan pikiran warga pun dikontrol oleh Big Brother. Semua berita yang dikonsumsi oleh warga dipastikan sudah melalui saringan ketat melalui mekanisme Newspeak.

Dengan mekanisme ini semua berita harus seragam dan sesuai dengan kebijakan Big Brother.

Harmoko sukses mendesain Newspeak untuk mengontrol media. Harmoko juga sukses dalam pengabdiannya kepada Big Brother sehingga menjadi salah satu anggota rezim yang paling dipercaya.

Di akhir episode kekuasan Orde Baru Harmoko cepat menyelamatkan diri dan ikut menuntut Pak Harto mundur.

Dalam politik tidak ada kesetiaan yang abadi. Hanya keselamatan dan kepentingan pribadi yang selalu abadi. (*)


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler