Harta Karun Talaga Warna, Kota yang Hilang Di Tanah Sunda (1)

Rabu, 11 November 2015 – 06:33 WIB
Suasana di Talaga Warna, Puncak, Bogor. Foto: Wenri Wanhar/JPNN.com.

jpnn.com - BILA puan dan tuan hendak ke Talaga Warna, rutenya sangatlah mudah. Tinggal memacu kendaraan ke kawasan Puncak, Bogor. 

Sesampai di Puncak Pass, tanya saja  pedagang jagung bakar yang bertebaran di tepi jalan. Akan ada petunjuk.

BACA JUGA: Titik Nol Republik Indonesia Itu Di Sini...

=======

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network 

BACA JUGA: Satu Sekuel Palagan Surabaya: Gara-gara Tank Raksasa Ini, Arek Suroboyo...

=======

Talaga Warna menyuruk di balik hamparan kebun teh. Berlindung di antara pohon-pohon besar yang diperkirakan, sejak ratusan tahun lampau, sudah ada di sana. 

BACA JUGA: Jangan Anggap Remeh Arek Suroboyo!

Panorama alamnya, hawa sejuknya…mhhhh, amboi, kawan. 

Secara geografis, kawasan Talaga Warna berada di ketinggian. Gugusan awan kerap datang menyentuh pucuk-pucuk pohon yang bersetia menjaga kilauan air telaga.  

Ikan Purba

Lagi asyik-asyiknya menyalurkan hobi fotografi, jepret sana jepret sini, tiba-tiba…pyuuuur!

Seekor ikan besar melompat di talaga itu. Kecipaknya mencuri perhatian. Tak hanya saya, C. Supandi seorang kawan seperjalanan pun demikian.

“Di talaga ini hidup dua ekor ikan purba. Besar. Warnanya merah dan hitam. Yang merah namanya Si Layung dan yang hitam namanya Si Tihul,” kata pria paruh baya yang banyak mempelajari sejarah dan legenda Tatar Pasundan.

Semasa mudanya, Bang Pandi-- demikian gout menyapanya--seorang penulis skenario film. Kabarnya, dia pernah kerja bareng Sjumandjaja, orang di balik layar film The Last Train, Yang Muda Yang Bercinta, Si Doel Anak Betawi dan sederet film-film berkaliber lainnya.

Menurut Supandi, kedua ikan tersebut sebetulnya jarang sekali menampakkan diri. 

"Menurut kepercayaan masyarakat, apabila ada yang melihat ikan tersebut berenang atau pun melompat ke permukaan, niscaya membawa keberuntungan," katanya. 

Oimak! Di balik air yang memancarkan kilauan cahaya itu, rupanya tersimpan sebuah legenda...

Kerajaan Kutatanggeuhan

Merujuk kisah pitutur urang Sunda, sebagaimana disampaikan Bang Pandi,  pada zaman dahulu…kawasan itu bernama Lereng Gunung Lemo, satu kesatuan dengan kompleks pegunungan Mega Mendung.

Konon kabarnya, jauh-jauh hari sebelum berdiri Kerajaan Pajajaran, di tempat itu telah berdiri sebuah kerajaan. Namanya Kerajaan Kutatanggeuhan.

Secara harafiah, kuta berarti kota atau daerah atau wilayah atau tempat. Sedangkan tanggeuhan berarti andalan. 

Jadi, secara bebas bisa diterjemahkan "kota andalan". 

Sebutan lain untuk kerajaan itu, Kemuning Kewangi.

Negeri dipimpin seorang raja bernama Prabu Swarnalaya. Permaisuri bernama Ratu Purbamanah.

Kebijakan dan kearifan sang raja sangat kesohor. Rakyat pun sangat mencintainya. Wilayah ini tentram dan makmur. Tak ada rakyat yang kesulitan secara ekonomi.

Hanya saja Kutatangguehan murung. Pasalnya, sang prabu dan istrinya belum kunjung mendapat keturunan. 

Segala macam upaya telah ditempuh. Berobat ke sana ke mari. Mengonsumsi berbagai ramuan. Namun maksud belum juga terlaksana.

Rakyat yang ingin pemimpinnya bahagia, turut kasak-kusuk mencari akal agar permaisuri segera punya anak. 

Suatu waktu, seorang penasehat kerajaan menyarankan agar mereka mengangkat anak. Namun ditolak. Mereka menginginkan anak kandung, darah daging sendiri.

Prabu Swarnalaya kemudian bertapa.--bersambung (wow/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sumpah Perang Arek Suroboyo, Foto Naskahnya...


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler