Haruna Soemitro

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Selasa, 18 Januari 2022 – 13:06 WIB
Haruna Soemitro. Foto: JPNN.com

jpnn.com - Inilah asyiknya sepak bola Indonesia. Prestasi boleh sepi, tetapi konfliknya tetap ramai. 

Beberapa hari ini tagar ‘’Haruna Out’’ menjadi trending topic. Netizen marah dan menggeruduk Haruna Soemitro, anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI yang juga direktur Madura United, anggota Liga 1 PSSI. Mereka mendesak Haruna out dari Exco.

BACA JUGA: Selain Haruna Soemitro, 2 Sosok Ini Juga Pernah Kritik Shin Tae Yong

Haruna bikin heboh setelah dalam sebuah wawancara siniar (podcast) di kanal JPNN.com mengkritik pelatih timnas Indonesia asal Korea Selatan, Shin Tae Yong (STY). Haruna menyindir STY gagal karena tidak berhasil membawa Indonesia juara Piala AFF.

Seorang pelatih, kata Haruna harus memberikan hasil, bukan proses. Sama seperti Luis Milla, pelatih sebelumnya. Publik menganggapnya bagus, tetapi tidak bisa memberi gelar juara.

BACA JUGA: Haruna Soemitro Sebut Timnas Indonesia Tak Butuh Shin Tae Yong, PSSI Merespons Tegas

Akhirnya Milla out. Haruna menyindir STY. Kalau tidak bisa memberi juara, ya harus out. STY tersinggung oleh sindiran ini. Konflik Haruna-STY ini bisa jadi berbuntut panjang dan serius.

Netizen ribut. Internal PSSI pun ikut ribut. Haruna--yang nota bene orang dalam--malah melempar bom di kamarnya sendiri. Rangkap jabatan sebagai direktur klub Liga 1 dan anggota Exco sangat mungkin menimbulkan conflict of interest.

BACA JUGA: Penyataan Haruna Soemitro Sampai ke Telinga Media Asing, Memalukan

Tidak perlu kaget. Rangkap jabatan seperti ini hal yang lazim di PSSI. Di negara lain hal ini tabu, tetapi di Indonesia menjadi praktik yang biasa. Rata-rata pengurus teras PSSI dan anggota Exco punya klub, atau mengelola klub.

Bukan hanya satu klub yang dikelola, tetapi bisa dua atau tiga klub, dan bahkan lebih.

Conflict of interest, mungkin, tidak ada di kamus PSSI. Karena itu biasa saja kalau ada yang merangkap jabatan. Karena itu, ketika Haruna mengkritik praktik internal di lingkungan PSSI hal itu sama saja dengan menepuk air di dulang tepercik muka sendiri.

Kali ini bukan sekadar tepercik muka sendiri, tetapi sama saja dengan disiram air sedulang yang membuat PSSI basah kuyup. Konflik kepentingan di internal PSSI terbongkar sendiri dari pernyataan Haruna.

Ada rebutan proyek naturalisasi pemain asing di PSSI. Itu salah satunya. Sudah jelas bahwa di internal PSSI sendiri proyek itu tidak mendapat dukungan dan jadi rebutan.

Konflik internal PSSI selalu lebih ramai dibanding prestasinya. Nama-nama pengurus PSSI mungkin lebih terkenal dibanding nama-nama pemain nasional PSSI.

Nama Haruna Soemitro, Iwan Budianto, atau Mochamad Iriawan, jauh lebih dikenal ketimbang nama striker timnas pribumi Indonesia.

Tentu ini berbanding terbalik dengan negara-negara di seberang sana. Kita hampir tidak pernah mendengar nama ketua FA, ketua Bundesliga, ketua KNVB, atau ketua FIGC. Namun, mungkin kita hafal nama bintang-bintang liga mereka karena setiap detik beritanya bermunculan.

Tidak fair memang memperbandingkan PSSI dengan asosiasi-asosiasi di Eropa itu. Namun, setidaknya kita bisa mengaca diri bagaimana asosiasi yang profesional itu memposisikan diri sebagai regulator dan fasilitator yang menjamin terciptanya iklim kompetisi yang profesional yang kondusif untuk menciptakan prestasi timmas yang optimal.

Publik bola sempat menaruh harapan tinggi terhadap kepemimpinan Mochamad Iriawan. Apalagi Indonesia sudah mendapat kepercayaan FIFA untuk menjadi tuan rumah tunggal Piala Dunia U-20. Rencananya perhelatan itu akan digelar pada 2020, tetapi molor karena pandemi.

Sampai sekarang tidak terdengar kabar. Katanya akan digelar pada 2023, tetapi jadwalnya belum pasti.

Indonesia beruntung mendapatkan STY untuk menangani timnas. Publik bola nasional berharap banyak kepada STY. Setidaknya publik berharap STY bisa mengulang prestasinya ketika membawa Seongnam menjuarai Liga Champion Asia, atau membuat kejutan ketika membawa Korsel menggasak Jerman 2-0 di Piala Dunia Rusia, 2018.

Dengan prestasinya itu bukan mustahil STY bisa menciptakan kejutan di Piala Dunia U-20 atau di ajang-ajang regional lain. Yang dia butuhkan hanyalah kepercayaan dan otoritas penuh untuk membentuk tim.

PSSI mengatakan posisi STY aman sampai akhir kontrak. Namun, siapa bisa menjamin? Rekam jejak PSSI dalam hal-hal semacam ini lebih sering angin-anginan karena masuk angin, ketimbang konsisten.

Pernyataan Haruna menjadi indikasi ada tarung kepentingan di tubuh PSSI. Seumpama permainan sepak bola, sekarang terbuka kepada umum bahwa dressing room PSSI tidak kondusif. Tidak ada leader yang bisa mengendalikan dressing room.

Para penggemar bola mafhum, dressing room yang kacau tidak pernah bisa menghasilkan permainan tim yang bagus. Dressing room yang kacau menjadi indikator pelatih kehilangan kontrol dan tidak bisa mengendalikan pemain dan stafnya. Ujungnya sudah pasti, sang pelatih out.

Ibarat dressing room, Mochamad Iriawan adalah sang pelatih. Dia harus bisa menertibkan pemainnya. Tidak peduli seberapa hebat si pemain, meskipun tekniknya sundul langit, tetapi kalau membuat kacau dressing room si pemain harus diberi sanksi.

Pilihannya cuma dua, si pemain out atau sang pelatih yang justru ditendang keluar. Pelatih yang pintar dan berwibawa akan bisa mengatasi kekacauan dressing room ini.

Dia akan berani membangkucadangkan si pemain trouble maker dengan segala risikonya. Namun, pelatih yang lemah tidak akan berani memberi sanksi, dan akibatnya dressing room kacau.

Ini bukan kali pertama dressing room PSSI kacau. Ketika Edy Rahmayadi menjadi ‘’penguasa dressing room PSSI, kondisi ribut seperti ini juga terjadi. Edy tidak bisa mengendalikan pengurus-pengurus PSSI di dressing room sendiri. Banyak pengurus yang membangkang dan akhirnya melakukan kudeta.

Edy Rahmayadi pun pilih mundur karena ketika itu sudah memenangi jabatan sebagai gubernur Sumatera Utara.

Konflik Haruna dengan STY akan menjadi duri dalam daging yang bisa membuat seluruh badan meriang. Konflik ini menjadi kerikil dalam sepatu yang membuat langkah PSSI terseok-seok tidak nyaman. Kerikil harus dibuang, atau sepatu yang harus diganti.

Mengaca pada kasus Edy Rahmayadi, kali ini sepatu akan diganti kalau tidak berani membuang si kerikil.

Apa sang sepatu berani membuang si kerikil? Kelihatannya sang sepatu harus berhitung cermat. Dia (kabarnya) punya target politik pada 2024. Karena itu dia harus bertahan jangan sampai diganti dengan sepatu baru.

Namun, si kerikil ini punya backing batu besar seperti gunung yang tidak mudah digusur. Si kerikil ini pasti tidak sendirian di dressing room, banyak kroni dan konconya. Kalau salah perhitungan, alih-alih menghilangkan kerikil, sang sepatu malah yang out.

Konflik ini mengancam keberadaan STY. Setidaknya dia tidak sepenuhnya merasa nyaman karena merasa direcoki sampai ke hal teknis. Hal ini akan memengaruhi prestasi timnas yang sampai enam kali final belum bisa juara Piala AFF.

Kiprah pelatih asing di timnas sebuah negara adalah sesuatu yang lazim, meskipun tidak semuanya membawa prestasi yang hebat. Pelatih asing dibutuhkan kalau pelatih nasional dianggap kurang mumpuni.

Korsel punya pengalaman hebat dengan Guus Hidink yang dengan disiplin tinggi dan otoritas mutlak berhasil merevolusi sepak bola Korea dan membawanya ke tempat terhormat di posisi empat pada Piala Dunia 2002.

Inggris, negara ibu kandung sepak bola, juga mencoba pelatih asing untuk mengubah mental para pemain. Sven Goran Erriksson dan Fabio Capello dicoba dengan hasil yang tidak menggembirakan.

Inggris akhirnya kembali ke pelatih produk lokal dan sekarang Gareth Southgate terlihat sudah menemukan jalannya.

Kita sudah punya banyak pengalaman dengan pelatih-pelatih asing. Pada 1970-an kita punya Wiel Coerver yang berhasil meletakkan pondasi sepak bola modern di Indonesia.

Kita pernah punya Opa Alfred Riedl yang memberi prestasi lumayan meskipun tidak pernah juara. Kita pernah mencoba Jacksen Tiago dengan prestasi yang tidak terlalu mengecewakan. Kita juga pernah punya Simon McMenemey dengan prestasi agak medioker.

Kita pernah punya pelatih berkelas seperti Luis Milla, dan sekarang kita punya STY yang punya prestasi mentereng. Kita butuh STY melakukan gebrakan baru untuk merevolusi mental pemain dan pengurus PSSI sebagaimana STY menyaksikan Guus Hiddink melakukannya terhadap sepak bola Korea Selatan.

Luis Milla pergi membawa kekecewaan karena sikap yang dianggapnya kurang profesional di PSSI. STY juga berpotensi mengalami hal yang sama di tengah jalan. Taruhannya sangat besar jika STY mudur di tengah jalan.

Karena itu PSSI harus menyelesaikan konflik Haruna-STY ini. Jangan sampai perseteruan ini menjadi drakor yang berakhir dengan uraian air mata. (*)

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler