Hasil Survei Ini Perlu Diketahui Para Caleg

Kamis, 07 Maret 2019 – 12:17 WIB
Alat Peraga Kampanye (APK) salah satu caleg terpasang pada pohon di kawasan Jalan Mayjend Sutoyo, Balikpapan, Kamis (28/2). Foto: PAKSI SANDANG PRABOWO/KALTIM POST

jpnn.com, BALIKPAPAN - Pemilu Serentak 17 April 2019 semakin dekat, reklame berupa baliho dan spanduk kian bertebaran di setiap sudut jalan. Memajang foto dan nomor urut para kontestan yang berlaga.

Namun, efektifkah kampanye dengan alat peraga tersebut? Di tengah krisis kepercayaan pemilih. Saat jumlah golongan putih (golput) tak pernah surut.

BACA JUGA: TNI Siap Bantu Bawaslu RI Demi Kelancaran Pemilu 2019

Tim Riset Kaltim Post melakukan jajak pendapat pada 26-27 Februari lalu. Tajuknya, seberapa efektif gaya kampanye Pemilihan Legislatif (pileg) dan Pemilihan Presiden (pilpres) 2019. Yang masih menerapkan cara lama. Reklame berupa baliho dan spanduk memenuhi sejumlah titik jalan di semua daerah di Kaltim. Bahkan cenderung merusak estetika kota.

Hasilnya pada 28 Februari, 71,43 persen pembaca yang mengikuti jajak pendapat menyebut reklame sudah tidak efektif sebagai metode kampanye. Sementara 28,57 persen mengatakan kurang efektif. Tak ada yang menyebut metode ini efektif alias nol persen.

BACA JUGA: Perindo Bidik 3 Besar di Jateng I dan X

BACA JUGA: Hasto Berang Dengar Kabar Nama Prabowo - Sandi Muncul di Running Text Puskesmas

Pengamat politik dari Universitas Mulawarman Samarinda Sonny Sudiar dengan gamblang menyebut reklame sebagai bentuk kampanye hanya buang-buang uang. Alias boros. Tak akan efektif menggaet suara pemilih. Penelitiannya, alat peraga kampanye (APK) model ini hanya bisa mengangkat 5 persen suara.

BACA JUGA: 61 Ribu Warga Jatim Pindah Lokasi Nyoblos, Batas Akhir 18 Maret

“Ada dua dampak adanya reklame. Menjadi informasi kepada khalayak ramai. Di sisi lain memunculkan antipati dari pemilih,” ujar Sonny.

Antipati muncul ketika APK mengganggu estetika kota dan menjadi sampah demokrasi. Saat reklame kondisinya rusak dan mengotori lingkungan. Menjadi tidak efektif karena begitu banyak calon legislatif yang harus dilihat. Memang dengan banyaknya reklame, mampu meningkatkan popularitas. Namun, populer saja tak cukup.

“Oke kalau sekadar informasi awal. Tapi reklame tak akan mengangkat suara pemilih kepada calon bersangkutan,” imbuhnya.

Cara yang paling efektif menarik simpati dan elektabilitas adalah dengan bertatap muka langsung dengan calon pemilih. Memang diperlukan tenaga dan uang yang tak sedikit. Namun, hasilnya lebih nyata. Dari penelitiannya, dengan berinteraksi langsung dengan calon pemilih, seorang caleg mampu mengangkat 80 persen suara.

“Jadi daripada menghamburkan uang buat reklame, lebih baik dananya disalurkan untuk bertemu langsung dengan calon pemilih,” sebut Sonny.

Selain tatap muka langsung, masih ada metode kampanye yang menurutnya efektif. Menggunakan media surat kabar atau koran. Koran disebut mudah diakses karena tak memerlukan jaringan internet. Apalagi memiliki pembaca setia dengan status ekonomi beragam.

“Meski bukan pembeli koran, calon pemilih pasti akan membaca. Baik itu di tempat kerja atau fasilitas publik yang menyediakan koran. Dan itu tak masalah kalaupun koran bekas. Yang penting bentuk kampanyenya dibaca,” ungkapnya.

Penggunaan media sosial (medsos) juga bisa dilakukan dengan bijak. Khususnya untuk menarik simpati generasi milenial. Asal dilakukan dengan cara bijak tanpa membuat konten yang dianggap menyebarkan ujaran kebencian apalagi hoaks. Juga lebih berhati-hati terhadap kampanye hitam dari oknum-oknum yang menggunakan akun palsu.

“Jika memang targetnya generasi milenial, medsos efektif digunakan. Sebab, pengguna aktifnya berusia antara 17–35 tahun. Sementara di atas itu lebih banyak pengguna pasif,” bebernya.

Tapi medsos, sekali lagi, bukan pendekatan utama. Tatap muka dengan calon pemilih tetap harus diprioritaskan. Dana kampanye sebaiknya digunakan untuk membuat forum diskusi atau menciptakan kegiatan untuk mengumpulkan massa. Tak harus banyak dalam satu kegiatan. Yang penting berkelanjutan dan menyasar pada isu yang diinginkan calon pemilih.

“Kalau perlu setiap ada undangan pernikahan di daerah pemilihannya, caleg itu datang. Dari sana tampak ukuran kepeduliannya di ruang publik,” kata Sonny.

BACA JUGA: TKN: Jokowi Naik Komuter Bukan Pencitraan

Dari sudut pandang lain, pemilu juga dianggap sebagai momentum mengeruk keuntungan dari para caleg. Temuannya, sejumlah oknum calon pemilih akan meminta bantuan langsung jika ingin caleg tersebut punya suara di daerah tersebut.

“Akhirnya caleg terpancing. Yang semula idealis, inginnya main bersih, karena khawatir suaranya diambil pesaing, akan melakukan metode yang sama yang biasa dilakukan caleg lain itu,” ujarnya.

Metode yang dimaksud adalah politik uang. Meskipun bentuknya tak lagi uang, namun berupa barang yang sesuai permintaan oknum calon pemilih. Hal ini yang sejak awal harus jadi perhatian pemerintah. Meski dengan tegas Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melarang politik uang, kenyataannya praktik itu masih dilakukan.

“Ada yang menunggu. Tak menghambur uang dulu dalam masa kampanye. Menyiapkan amunisinya di hari-hari menjelang pencoblosan,” katanya.

Sonny mengaku hingga kini belum melihat ada inovasi bentuk kampanye dari para kontestan yang berlaga di Pemilu 2019. Yang mampu menarik simpati pemilih selain tatap muka. Tetapi dia yakin, partisipasi pemilih akan meningkat. Sebab, adanya momen pilpres yang dianggap punya daya tarik bagi masyarakat.

“Ditambah dalam pemilu serentak ini, calon pemilih bisa melakukan pencoblosan di luar daerahnya. Asal memiliki formulir A5 itu yang menyatakan pindah memilih,” ucapnya.

Sementara itu, pengamat politik dari Unmul lainnya, Lutfi Wahyudi, menganggap reklame hanya efektif bagi kalangan tertentu. Yakni mereka yang jarang berinteraksi dengan media. Baik media massa atau media sosial. Seperti di pedesaan atau wilayah terpencil lainnya. Yang tak terjangkau teknologi kekinian.

“Tapi bagi mereka yang biasa mengakses media, reklame ini sudah tak relevan,” sebut Lutfi.

Kalaupun ingin efektif, reklame sebaiknya dipasang di lokasi strategis. Tempat massa biasa berkumpul. Daripada diletakkan di pinggir jalan yang sudah biasa dilakukan sejak lama. Maka akan dianggap biasa oleh pengguna jalan dan cenderung diabaikan.

“Kecuali kontennya dibuat untuk membuat orang penasaran. Ya, yang nyeleneh. Daripada pasang foto, nomor, partai yang biasa. Yang biasa ini, menurut Hukum Gossen bikin jenuh,” jelasnya.

Reklame hanya untuk pemberi informasi. Untuk meningkatkan elektabilitas, caleg memang diwajibkan untuk berinteraksi langsung dengan calon pemilih. Bisa langsung secara fisik. Atau melalui media live streaming dan medsos.

“Door to door memang efektif. Namun, memakan banyak waktu dan biaya. Belum lagi isu yang dibawa si caleg,” ujarnya.

Dari penelitiannya, Lutfi menemukan apapun kampanye yang dilakukan caleg, hasilnya tak akan menggembirakan. Khususnya kondisi ekonomi Kaltim saat ini yang disebut masih lesu. Hal ini yang membuat caleg harus berusaha berkali lipat untuk meyakinkan calon pemilih dengan intensitas interaksi langsung.

“Mendorong persepsi positif masyarakat untuk diyakinkan kembali kalau nasib mereka bakal diperjuangkan ketika caleg itu terpilih,” katanya.

Dari pengamatannya, ada pergeseran cara kampanye yang dilakukan caleg. Agar bisa meningkatkan elektabilitas dirinya, caleg secara terbuka di hadapan pemilih akan mengabaikan bendera partai politiknya. Memanfaatkan pesona dua kandidat dalam pilpres.

“Jadi di awal, caleg akan bertanya dulu kepada calon pemilih. Capres dan cawapres mana yang mereka pilih,” sebutnya.

Jika calon pemilih terbuka tentang pilihannya, caleg akan mengumpamakan dirinya memiliki kemampuan layaknya capres atau cawapres pilihan calon pemilih. Meski caleg bersangkutan bukan berasal dari partai politik pengusung capres. Yang terpenting, dia bisa dipilih berdasar pilihan pemilih terhadap capres.

“Jadi siapa pun presidennya, tapi soal memilih anggota dewan, caleg akan mencoba menyatukan perspektif calon pemilih. Jadi istilah SKSD (sok kenal sok dekat) pun dilakukan,” bebernya. (*/rdh/dwi/k16)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengamat Intelijen : Ada Upaya Kelompok Tertentu untuk Delegitimasi Pemilu


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler