Pengamat Intelijen : Ada Upaya Kelompok Tertentu untuk Delegitimasi Pemilu

Rabu, 06 Maret 2019 – 23:24 WIB
Pemilu 2019. Ilustrasi: radartegal.com

jpnn.com, JAKARTA - Terdapat empat upaya bagi masyarakat untuk mencegah adanya praktik delegitimasi oleh pihak tertentu kepada penyelenggara pemilu.

Hal itu diungkap saat sejumlah pengamat dan penyelenggara pemilu melakukan diskusi publik bertajuk Potensi Delegitimasi Pemilu dan Masa Depan Demokrasi yang digelar Indonesian Publik Institute (IPI) di kawasan Jakarta Pusat, Rabu (6/3).

BACA JUGA: Hary Tanoe: Caleg Perindo Harus Kerja Keras, Tepat Sasaran, dan Yakin

Direktur IPI Kartono Wibowo mengatakan, penyelenggara pemilu harus memberikan ruang kepada rakyat agar kontestasi demokrasi ini berjalan dengan jujur dan adil.

Namun saat ini, kata dia, atmosfir politik menjelang Pemilu Serentak 2019 masih diwarnai berbagai persoalan yang bisa mengancam masa depan demokrasi.

BACA JUGA: Hai Milenial, Ayo Ikut Awasi Pemilu lewat Aplikasi JAPRI

Hal itu bisa dilihat dari maraknya hoaks, ujaran kebencian, dan isu SARA masih menjejali ruang publik sejak awal kampanye.

Sementara itu, kata dia, telah berkembang opini yang membentuk persepsi publik seolah ada kecurangan yang dilakukan secara sistematis dalam penyelenggaraan pemilu.

BACA JUGA: KPU Gerak Cepat Coret Nama Dua WNA dari DPT Pemilu

Seperti membentuk opini DPT ganda, e-KTP tercecer, kotak suara terbuat dari kardus, isu tujuh kontainer surat suara tercoblos, hingga isu mobilisasi warga negara asing untuk memilih.

"Selain itu, opini tentang ketidaknetralan aparat sipil negara, TNI, Polri dan kepala daerah seolah memperkuat adanya dugaan kecurangan pemilu. Teranyar, adalah sistem informasi penghitungan suara dicurigai sebagai upaya untuk melakukan kecurangan. Dalam hal ini KPU sebagai pihak tertuduh," kata dia.

Menurut Karyono, ada empat hal yang bisa dilakukan agar pemilu berjalan demokratis, jujur dan adil. Pertama, penyelenggara pemilu yang berintegritas, profesional dan independen.

Kedua, sikap kedewasaan peserta pemilu untuk melaksanakan, memelihara dan merawat nilai-nilai demokrasi yang sudah menjadi konsensus bersama sehingga seluruh peserta pemilu harus memiliki kedewasaan politik dan komitmen untuk menyelenggarakan pemilu yang demokratis.

Ketiga, diperlukan ketaatan hukum dan mematuhi peraturan perundang-undangan. Dan keempat, penegakan hukum terhadap semua pelanggaran pemilu secara adil.

Sementara itu pengamat intelijen dan keamanan Stanislaus Riyanta menyadari sudah ada sejumlah fakta sebagai upaya mendelegitimasi pemilu. Langkah ini terlihat dilakukan oleh kelompok yang memang tidak siap dalam berdemokrasi.

Menurutnya, fakta-fakta berupa narasi yang intinya kelompok tersebut pasti menang, kecuali dicurangi.

Narasi lain yang menyusul adalah akan menggeruduk KPU, yang secara langsung sudah mengajak melakukan kekerasan jika kelompok mereka kalah.

"Sebelum narasi tersebut muncul, upaya delegitimasi Pemilu 2019 sudah didahului dengan hoaks-hoaks yang mendeskreditkan KPU dan Bawaslu," kata dia.

Narasi hoaks itu, menurut dia bertujuan untuk menciptakan opini tidak percaya kepada penyelenggara pemilu.

Untuk mencegah upaya delegitimasi pemilu tersebut, Stanislaus menjelaskan, tugas utama penyelenggara pemilu yang diemban KPU dan Bawaslu harus dijalankan dengan baik dan benar.

Permasalahan DPT, distribusi logistik, kecukupan petugas TPS termasuk saksi, harus bisa dituntaskan.

Selain itu, aparat keamanan harus mampu menjangkau seluruh TPS. Saksi-saksi semua pihak yang berkepentingan dalam pemilu harus hadir dalam TPS untuk memastikan proses pemungutan suara berjalan dengan semestinya.

"Langkah paling penting untuk mencegah delegitimasi pemilu sejak dini adalah dengan memberikan tindakan hukum yang tegas terhadap siapa pun yang menyebarkan hoaks atau narasi yang tujuannya adalah menggagalkan pemilu," katanya.

Di kesempatan yang sama, anggota Bawaslu Mochammad Afifuddin menyampaikan, pihaknya sudah menjalankan tugasnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Misalnya, kata dia, soal penindakan dan pencegahan yang ditangani Bawasl selama ini.

Menurut dia, pihaknya menerima temuan 2.218 pelanggaran pemilu. Sementara, laporan dari masyarakat sebanyak 531 pelanggaran. Dari jumlah itu, pelanggaran tindak pidana mencapai 437 dan pelanggaran administrasi mencapai 1.789.

"Itu yang ditangani kami di Bawaslu," kata dia.

Dalam diskusi ini hadir juga Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi FH Universitas Jember Bayu Dwi Anggono dan pengamat politik dari President University Muhammad A S Hikam. (tan/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Waduh, Ada Nama Tiga WNA Terdaftar Coblos di Pemilu


Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler