jpnn.com, MEDAN - Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengatakan kisah Bobby Nasution yang sampai disekolahkan pihaknya agar terlihat pantas menjadi kepala daerah. Ironisnya, Bobby belakangan justru mengkhianati pihak yang membesarkannya.
Hal itu disampaikan Hasto Kristiyanto, yang mengaku berbicara sebagai warga negara biasa, bukan dengan label jabatannya sebagai Sekjen DPP PDIP, di Forum Demokrasi bertajuk “Selamatkan Demokrasi di Sumatera Utara” yang digelar di Kota Medan, Minggu (17/11).
BACA JUGA: PDIP Ajak Masyarakat Pilih Pemimpin yang Bawa Jatim dan Surabaya Lebih Maju
“Ketika mau menjadi calon, Bobby Nasution ini saya sekolahkan ke Banyuwangi, yakni kepada Abdullah Azwar Anas,” kata Hasto.
Di Sumut, Hasto mengatakan PDIP bahkan sampai mengorbankan salah seorang kader partai di Sumut. Namun belakangan, ternyata ambisi menantu Presiden ketujuh RI Joko Widodo (Jokowi) itu ternyata sangat berlebihan.
BACA JUGA: Sebelum Ahok Jadi Pengurus, PDIP Masukkan Anies ke dalam Bursa Cagub DKI
"Kami pikir karena beliau menantu presiden, ia merasa itu sudah merupakan karunia luar biasa. Tetapi ternyata keinginannya banyak sekali, maka saya sampaikan kita tidak bisa bersama lagi,” kata Hasto.
Bahkan Bobby ternyata tidak memiliki kesetiaan sama sekali dan suka berpindah-pindah partai politik. Dari PDI Perjuangan, merapat ke Golkar, lalu kemudian pindah lagi ke Gerindra.
BACA JUGA: Fraksi PDIP Bakal Libatkan Aktivis Melihat Rekam Jejak Calon Pimpinan dan Dewas KPK
Berbagai kerusakan demokrasi terjadi di pilkada Sumut. Menurut Hasto, mencermati berbagai kerusakan demokrasi tersebut, ternyata Letnan Jendral TNI Purnawirawan Edy Rahmayadi memiliki kesabaran tinggi. Baginya, Edy menunjukkan sikap yang ksatria karena membuktikan sikap infanterinya yang mottonya adalah hidup atau mati untuk negeri.
“Infanteri tidak pernah main belakang. Tidak pernah mengintimidasi rakyat, apalagi menilang rakyat,” kata Hasto.
Dia mengatakan Pilkada Sumatera Utara sangat berbeda dengan karakter infanteri yang mengedepankan sikap kesatria.
"Pak Presiden Prabowo sosok kesatria, berbeda dengan satunya", kata Hasto.
Sikap kestaria Prabowo, menurut Hasto, berbeda dengan sikap Jokowi, yang ketika ada pergantian ketum Golkar, mengatakan tidak campur tangan. Padahal semua tahu campur tangan melalui hukum kekuasaan.
Hasto mengaku mendapat informasi dari Edy Rahmayadi yang menerima banyak masukan, seperti penilaian bahwa kehormatan masyarakat Sumatera Utara telah dirusak oleh ambisi kekuasaan.
“Diusulkan ‘Bagaimana kalau kita shut down-kan saja tim pemenangan kita?’Coba bayangkan, kalau Partai Cokelat dibiarkan terus bergerak, buat apa Pilkada ketika semua sudah diatur?" kata Hasto.
“Kalau di Jawa itu ada ungkapan, ‘nguntal negara’, menelan negara, menelan kekuasaan. Bayangkan kalau Pak Edy Rahmayadi-Hasan Basri Sagala dan seluruh tim kampanye, lalu mengatakan ‘Silakan, daripada Pemilu sudah diatur, makan itu kekuasaan. Kau menangkan itu Sang Menantu dengan segala cara," beber Hasto.
Menanggapi itu, kepada Edy, Hasto menyampaikan bahwa situasi itu mirip dengan suasana 1997. Saat itu, Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri tidak mau menggunakan hak pilihnya, karena Pemilu sudah diatur, dan munculah Mega Bintang.
Hasto mengatakan pihaknya mendapat laporan dari lapangan, bahwa apa yang terjadi dalam Pilpres telah diterapkan kembali. Kecurangan yang sifatnya terstruktur, sistematis, dan masif mencoba dijalankan.
“Sekali di Sumatera Utara ini kita membiarkan berbagai kesewenang-wenangan dalam demokrasi; sekali kita membiarkan berbagai kecurangan dalam Pilkada ini, maka sama artinya dengan kita membunuh masa depan Sumatera Utara," kata Hasto.
Hasto mengatakan pihaknya terus berjuang bagi demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, guna melawan ambisi kekuasaan dari raja.
"Oleh Partai Cokelat, dan untuk menantu raja,” pungkasnya. (tan/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 11.11 Big Sale Dorong Penjualan Produk Brand Lokal & UMKM Meningkat 7,5 Kali Lipat di Shopee Live
Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga