jpnn.com, JAKARTA - Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menyatakan ketua umumnya Megawati Soekarnoputri tidak bisa dibandingkan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Menurut Hasto, dua tokoh tidak bisa dibandingkan karena perbedaan karakter dan watak antara Megawati dengan Jokowi saat memimpin.
BACA JUGA: Hasto PDIP Raih Gelar Doktor dengan Predikat Cum Laude
Hasto menyampaikan hal tersebut saat menanggapi pertanyaan untuk mempertahankan disertasinya pada Sidang Terbuka Promosi Doktor Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI) di Depok, Jawa Barat, Jumat (18/10).
Dalam sidang yang dihadiri Megawati itu, Hasto memaparkan disertasi berjudul Kepemimpinan Strategis Politik, Ideologi, dan Pelembagaan Partai serta Relevansinya terhadap Ketahanan Partai: Studi pada PDI Perjuangan.
Pada sidang itu, Hanief Saha Ghafur sebagai salah satu ko-promotor bertanya soal potensi konflik destruktif yang melanda PDIP pada masa mendatang.
Menurut pria bergelar profesor itu, Megawati memang memiliki ketegasan dalam memimpin parpol berlambang banteng moncong putih.
BACA JUGA: Muncul #KamiYangTakKalianPahami, Warganet Apresiasi Kinerja Jokowi
Namun, kata dia, potensi konflik tetap ada. Termasuk yang terjadi belakangan ini setelah Presiden Jokowi yang notabene kader PDIP justru mendukung putranya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi cawapres pendamping Prabowo Subianto pada Pilpres 2024.
PDIP di sisi lain bersama PPP mendukung kandidat Ganjar Pranowo dan Mahfud Md sebagai Capres-Cawapres 2024.
“Bagaimana PDIP menjaga ketahanan partai dari ancaman konflik yang destruktif ke masa depan, khususnya konflik terkini antara PDIP dengan Presiden Jokowi," tanya Prof Hanief.
Pertanyaan itu mengundang tawa dan tepuk tangan. Megawati bersama dua jagonya di Pilpres 2024, yakni Ganjar Pranowo dan Mahfud Md, juga hadir pada sidang terbuka itu.
Menanggapi pertanyaan itu, Hasto langsung merujuk penelitian untuk disertasinya bahwa Megawati dan Jokowi bukan sosok yang bisa dibandingkan.
“Antara PDI Perjuangan dan Ibu Megawati dengan Pak Jokowi, dari penelitian ini, sebenarnya tidak bisa dibandingkan karena nilainya berbeda,” ujar Hasto.
Setelah menyampakkan jawaban itu, Hasto mengambil jeda sejenak untuk memberikan kesempatan kepada hadiri bertepuk tangan.
Syahdan, Hasto membeber perbedaan karakter antara Megawati yang juga Presiden Kelima RI dengan Jokowi.
“Jadi, yang satu (Megawati, red) berjuang untuk Indonesia Raya yang sejati-jatinya dan yang satu (Jokowi, red) memenuhi karakter the triangle of authoritarian,” tutur Hasto.
Adapun, maksud dari the triangle of authoritarian ialah segitiga yang melibatkan kultur feodal, kekuasaan populisme, dan cara-cara machiavellianism.
Lebih lanjut peraih gelar doktor ilmu geopolitik dari Universitas Pertahanan (Unhan) itu mengutip machiavellianism, ajaran dari Nicolo Machiavelli tentang pemerintahan dengan kekuasaan tak terbatas yang menggunakan segala cara. Menurut Hasto, ada tiga aspek dalam machiavellianism.
“Yang pertama, jadilah orang munafik dan pembohong yang hebat. Yang kedua, mencapai hal-hal yang besar dengan menipu. Ini ada teorinya. Yang ketiga, tidak pernah kekurangan alasan yang sah untuk mengingkari janji-janjinya,” kata Hasto kembali mengundang aplaus.
Politikus asal Yogyakarta itu menambahkan Megawati selalu menanamkan hal penting kepada kader-kader PDIP, yakni berjanji kepada Bung Karno. Dengan suara terisak, Hasto melanjutkan paparannya.
"Demi Indonesia raya yang sejati-jatinya bisa diwujudkan,” kata dia.
Hasto menambahkan teori temuannya dalam disertasi itu juga terbukti pada partainya yang luka-luka saat menghadapi kekuasaan. Alumnus Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut lantas mengutip tulisan karya pemikir kebangsaan Doktor Sukidi.
Dalam salah satu tulisan, Sukidi mengutip pendapat ilmuwan politik Steven Levitsky. Mahaguru ilmu pemerintahan di Universitas Harvard itu menyebut abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan di lingkungan elite dilakukan melalui mekanisme terstruktur, sistematis, dan masif.
“Hal tersebut hanya bisa dilakukan oleh pembunuh demokrasi,” ujar Hasto.
Dalam sidang terbuka promosi doktor itu, Hasto dinyatakan lulus dengan predikat cum laude. Pria kelahiran 7 Juli 1966 itu mengantongi indeks prestasi kumulatif 3,93.
“Tim penguji memutuskan untuk mengangkat Saudara Hasto Kristiyanto dalam doktor program studi Sekolah Kajian Stratejik dan Global,” ujar Athor Subroto selaku ketua sidang. (ast/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jokowi Terlahir sebagai Mulyono
Redaktur : Elfany Kurniawan
Reporter : Aristo Setiawan