jpnn.com - JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus menguat secara tajam. Melemahnya rupiah yang terjadi sejak awal 2015 ditebus hampir separohnya dalam satu pekan saja.
Data Jakarta Interbank Spot Dollar Offered Rate (Jisdor) yang dirilis BI menunjukkan, rupiah kemarin ditutup di level 13.521 per USD, menguat 288 poin dibandingkan penutupan Kamis (8/10). Dengan demikian, sepanjang pekan ini saja rupiah sudah menguat hingga 7,5 persen.
BACA JUGA: Menteri Ini Bilang, Penguatan Rupiah karena Dunia Usaha Percaya Jokowi
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengatakan bahwa penguatan rupiah atas greenback, sebutan dolar AS, bakal jauh menembus asumsi dalam RAPBN 2016 yang ditetapkan Rp 13.900 per USD.
"Jadi untuk nembus 13.800 jangan ragu. Untuk nembus ke 13.500 juga jangan ragu," katanya usai salat Jumat di Masjid BI kemarin.
BACA JUGA: Antisipasi Situasi Krisis Keuangan, BRI-Citilink Kembali Jalin Kerjasama
Dia pun menyarankan bagi pemegang dolar AS agar segera melepas simpanan valas tersebut. Sebab, apresiasi rupiah diproyeksi akan terus melaju. "Jadi yang masih banyak pegang dolar. Baik individu atau korporasi ya sebaiknya dijual lah dolarnya," kata.
Di pasar spot, pelemahan 66 poin pada Kamis lalu (8/10) seolah hanya menjadi ancang-ancang bagi rupiah untuk melompat lebih tinggi. Sebab, kemarin, rupiah kembali mencatat penguatan signfifikan.
BACA JUGA: Mendagri Dorong Penyerapan Anggaran Daerah
Data Bloomberg menunjukkan, rupiah kemarin ditutup di level 13.412 per USD, naik 475 poin atau 3,42 persen dibanding penutupan sehari sebelumnya yang di posisi 13.887 per USD. Bahkan, rupiah sempat menyentuh level terkuat di 13.281 per USD.
Kemarin, dari 13 mata uang di kawasan Asia Pasifik, delapan diantaranya menguat terhadap USD. Rupiah memimpin dengan penguatan 3,42 persen, disusul ringgit Malaysia 2,50 persen, dan won Korea Selatan 1,24 persen.
Salah satu pemicu melemahnya USD terhadap sebagian besar mata uang global adalah rilis notulen pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) bank sentral Amerika Serikat (The Fed) pada September lalu yang dipublikasikan pada Kamis waktu AS atau Jumat dini hari waktu Indonesia.
Tiga pekan usai rapat FOMC, The Fed memang selalu merilis notulen rapatnya. Dalam catatan tersebut, The Fed mengindikasikan kemungkinan penundaan kenaikan suku bunga sembari menunggu kepastian data-data ekonomi.
Menurut Mirza, disamping didorong pergerakan pasar di mana terjadi pembalikan arus, juga ada faktor dalam negeri terutama kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah secara beruntun. Kebijakan itu di tanggapi investor asing secara positif.
Selama ini, investor-investor asing kerap mengatakan bahwa Indonesia tidak pernah serius melakukan reformasi struktural. Namun, pemodal mancanegara, menurut Mirza, mengapresiasi tiga bundel paket kebijakan ekonomi yang telah dirilis.
Penguatan yang terlalu tajam sebenarnya juga membuat investor waswas. Sebab, meskipun menguat, volatilitas yang terlalu tajam memang bisa menggoyang kredibilitas mata uang.
Menanggapi itu, Mirza meminta pelaku ekonomi tidak terlalu mengkhawatirkannya. Dia mengatakan, isu tersebut hanya berasal dari investor luar negeri yang merugi akibat penguatan rupiah yang terlalu tajam.
"Kita jangan sampai terpancing pada pertanyaan-pertanyaan dari luar seperti itu. Enggak apa-apa (penguatan tajam). Karena kan yang jelas pada waktu kita mengalami pelemahan berat kan ekonomi pasti tertekan kan, importer tertekan," tuturnya. (dee/gen/owi/sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemerintah Membahas Nasib PT Preeport Indonesia, Hasilnya?
Redaktur : Tim Redaksi