jpnn.com, JAKARTA - Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menyampaikan analisis soal kasus dugaan perundungan di Binus School Serpong, Tangerang Selatan.
Konon kasus yang disebut-sebut perundungan itu menyeret anak artis Vincent Rompies yang tergabung dalam sebuah geng pelajar, sebagai salah seorang terduga pelaku.
BACA JUGA: Soal Kasus Perundungan, Binus School Serpong Sampaikan 4 Fakta Penting
Setelah mencermati sejumlah pemberitaan terkait kasus itu, Reza justru mempertanyakan apakah yang terjadi di Binus School benar-benar bullying atau malah ragging.
"Dua pertanyaan muncul. Bullying atau ragging? Trauma atau malingering? Kekerasan antarsiswa belum tentu perundungan," ujar Reza dalam analisisnya diterima JPNN.com, Sabtu (24/2).
BACA JUGA: Bullying oleh Siswa Sekolah Elite Binus School Serpong, Prof Zainuddin Prihatin
Menurut Reza, polisi patut mencermati lebih jauh apakah peristiwa dimaksud merupakan bullying ataukah ragging.
Sebab, menurut sarjana psikologi jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu. kekerasan siswa terhadap pelajar lain tidak mutlak berupa bullying.
BACA JUGA: Anak Diduga Terlibat Kasus Perundungan, Vincent Rompies Lakukan Ini
"Polisi patut mencermati secara spesifik, mana bullying dan mana ragging. Pertanyaannya, seberapa akrab kita--lebih-lebih lembaga-lembaga negara- dengan istilah ragging?" tuturnya.
Reza menjelaskan bahwa bullying diterjemahkan sebagai perundungan. Ragging, setahu dia, belum ada sinonimnya dalam bahasa Indonesia.
Namun, penyandang gelar MCrim dari University of Melbourne Australia itu menegaskan bahwa bullying dan ragging sama-sama kekerasan. "Keduanya adalah perilaku tidak baik," ucapnya.
Reza lalu memberikan analogi, bayangkan jika seorang anak, siapa pun dia, sengaja mendekati geng yang dikenal urakan agar bisa bergabung ke dalamnya.
Lalu, anak itu pun tahu bahwa tiap anggota baru dalam geng akan dikenai perlakuan tak senonoh dan serbaneka kekerasan.
Lantas, bergabunglah anak itu ke dalam geng tersebut dan dia menjalani ritual atau seremoni kekerasan yang memang merupakan identitas atau budaya geng itu.
"Kalau kronologinya sedemikian rupa, maka kekerasan yang menimpa anak tersebut tidak bisa serta-merta dikategori sebagai bullying. Itu ragging," tuturnya.
Dalam bullying, kata Reza, dikotomi pelaku dan korban sangat jelas. Sedangkan dalam ragging, relasi antaranak tidak lagi hitam putih. Apalagi, jika si anggota baru bertahan dalam geng tersebut, maka dia pun sesungguhnya bukan korban.
"Mindset-nya adalah dia secara sengaja melalui 'masa belajar' untuk kelak menjadi pelaku kekerasan pula," ujar pakar yang pernah mengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK/PTIK) itu.
Menurut Reza, betapa pun si anggota baru babak belur, tetap saja dia awalnya bukan korban bullying. Kecuali, andai saat dipukuli, si anggota baru itu merasa sakit, tak sanggup bertahan, ingin berhenti.
"Terlebih lagi jika dia minta agar tak lagi digebuki, tetapi anggota-anggota lama terus menghujaninya dengan pukulan, maka pada saat itulah ragging berubah menjadi penganiayaan," terangnya.
Reza menyebut baik bullying maupun ragging, keduanya memang harus disetop.
Namun dengan mengidentifikasi secara akurat apakah kejadian yang polisi tangani sesungguhnya merupakan bullying atau ragging, maka proses penegakan hukum akan berjalan tepat sasaran.
"Pun masyarakat akan bisa menakar sebesar apa simpati perlu diberikan," ujarnya.(fat/jpnn.com)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam