jpnn.com, JAKARTA - Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan (Stafsus Menaker) Dita Indah Sari buka suara menanggapi kehebohan soal upah minimum Indonesia disebut ketinggian.
Awalnya, upah minimum ketinggian disampaikan oleh Menaker Ida Fauziyah. Pernyataan itu lantas menuai protes dari netizen di media sosial dengan mengatakan upah minimum saat ini justru masih terlalu rendah.
BACA JUGA: Menaker Ida Ungkap Sisi Lain Penetapan Upah Minimum 2022, Oh Ternyata
Dita Indah Sari menjelaskan pernyataan Menaker Ida yang menyebut upah minimum terlalu tinggi itu setelah dikomparasikan dengan nilai produktivitas tenaga kerja di Indonesia, yaitu berupa kemampuan bekerja efektif dan efisien.
"Jadi, ketika Ibu (Menaker) mengatakan upah minimum yang ada ketinggian, itu bukan menganggap bahwa pekerja itu sah pekerja mendapatkan upah lebih rendah," kata Dita Indah Sari melalui keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (19/11).
BACA JUGA: Farid Okbah Ditangkap Densus 88, Ferdinand Sebut Nama Anies Baswedan, Mencengangkan
Menurut Dita, nilai produktivitas tenaga kerja di Indonesia sebetulnya masih cenderung rendah dibandingkan dengan upahnya.
Jika dibandingkan dengan negara lain di Asia, nilai efektivitas tenaga kerja di Indonesia berada pada urutan ke-13.
BACA JUGA: Detik-Detik Kematian Gilang Endi: Sempat Dibilang Cengeng hingga Diobati Paranormal
"Baik jam kerjanya, maupun tenaga kerjanya, ini umum secara nasional. Komparasinya ketinggian itu dengan itu, bukan berarti semua orang layak dikasih gaji kecil," ucap Dita menekankan.
Mengacu data yang dimiliki Kemenaker, dari sisi jam kerja saja, jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, pekerja di Indonesia sudah terlalu banyak hari liburnya.
"Dari segi jam kerja dan jumlah libur kita ini gede, banyak," ujar Dita.
Dita membandingkan dengan Thailand, misalnya, jam kerja di Indonesia lebih sedikit pada tiap minggunya. Di Thailand dalam seminggu jam kerja mencapai 42-44 jam, sedangkan di Indonesia hanya 40 jam.
Begitu pula hari libur, di Indonesia dalam setahun ada 20 hari libur, itu belum ditambah beragam cuti, mulai cuti bersama, cuti tahunan, cuti kelahiran anak, cuti khitanan, cuti menikah hingga cuti keluarga meninggal.
Sementara di Thailand, lanjut Dita, pekerjanya cuma mendapat sekitar 15 hari libur dalam setahun.
BACA JUGA: 5 Fakta Hilangnya Yana, Lalu Ditemukan di Cirebon, Ada Kejanggalan
Jumlah jam kerja yang makin sedikit menurutnya berdampak pada output atau hasil kerja yang dilakukan tenaga kerja di Indonesia pun menjadi minim. Otomatis, nilai produktivitasnya jadi rendah.
"Komparasinya itu, di situ, karena nilai jam kerja menjadi lebih sedikit, makanya upah itu ketinggian, enggak sesuai dengan produktivitas jam kerja dan efektivitas tenaga kerja," tutur Dita.
"Artinya, kalau upah enggak cocok dengan output-nya, kesimpulannya, upah kita terlalu tinggi," lanjut dia.
BACA JUGA: Wapres Soroti Langkah Densus 88 Tangkap Terduga Teroris di Antaranya Pengurus MUI
Stafsus menaker itu pun membuka data bahwa nilai produktivitas tenaga kerja di Indonesia memang rendah. Di Thailand, poinnya mencapai 30,9, sedangkan di Indonesia hanya 23,9.
Dita menyebut ketika dibandingkan dengan nominalnya, upah minimum di Indonesia terlalu ketinggian. Di Thailand dengan nilai produktivitas 30,9 poin, upah minimumnya mencapai Rp 4.104.475 yang diberlakukan di Phuket.
Sementara itu di Indonesia, dengan upah minimum di Jakarta mencapai Rp 4.453.724, nilai produktivitasnya cuma mencapai 23,9 poin.
Upah minimum Jakarta yang dimaksud Dita adalah simulasi terakhir dari Kemenaker dan BPS tentang upah minimum di tahun 2022.
Dalam simulasi itu, upah minimum naik 1,09 persen secara nasional, Jakarta menjadi provinsi dengan upah minimum tertinggi. (adk/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam