Heinrich XIII

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Jumat, 09 Desember 2022 – 23:46 WIB
Dhimam Abror Djuraid. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Indonesia pernah digemparkan oleh kemunculan kelompok Sunda Empire, yang mengaku mempunya kekuasaan luas sampai ke lima benua dan punya aset jutaan dolar.

Salah satu pucuk pimpinannya bernama Edi Raharjo asal Brebes, yang kemudian mengganti nama menjadi Rangga Sasana supaya sesuai dengan nama Sunda.

BACA JUGA: Innalillahi, Mantan Petinggi Sunda Empire Lord Rangga Meninggal Dunia

Pada 2019, Edi Raharjo muncul ke publik dengan pakaian seragam ala militer lengkap dengan baret dan bintang tiga di pundak.

Edi juga mengaku bergelar profesor doktor. Dia kemudian muncul di berbagai talk show televisi nasional dan dengan sangat meyakinkan mengatakan bahwa Sunda Empire benar-benar ada.

BACA JUGA: Bersitegang Urat Leher dengan Dasco, Iskan PKS Singgung Hak Anggota, Monarki sampai LGBT

Edi yang kemudian dikenal sebagai ‘’Lord Rangga’’ ditangkap polisi karena pemalsuan seragam dinas.

Selepas dari penjara, Edi mudik ke Brebes. Namanya tidak pernah terdengar lagi sampai dikabarkan meninggal dunia, Rabu (7/12) kemarin.

BACA JUGA: Pria Pengangguran Disikat Polisi di Depan Ruko, Kasusnya Berat

Bagi sebagian orang Edi Raharjo dianggap sebagai pembual yang mengalami halusinasi.

Akan tetapi, ada juga sebagian orang yang percaya.

Buktinya ada beberapa orang yang ikut menjadi anggota.

Obsesi dan fantasi akan masa silam yang jaya di bawah sistem monarki, rupanya masih menjadi daya tarik bagi sebagian orang.

Di Jerman, gejala semacam itu juga masih ada.

Beda dengan Edi Raharjo yang mungkin terlihat seperti badut yang lucu, di Jerman gerakan kembali ke kejayaan masa lampau menjadi gerakan yang serius.

Buktinya, polisi melakukan operasi besar dan menangkap sejumlah orang penting dari sebuah organisasi yang ingin membawa Jerman kembali ke bentuk monarki abad ke-18.

Polisi Jerman Rabu (7/12) mengadakan penggerebekan besar-besaran dan menangkap 25 orang dan menyita berbagai jenis senjata api, yang diduga bakal dipakai untuk melakukan serangan terhadap kantor-kantor pemerintah.

Kelompok makar ini diduga akan melakukan kudeta untuk menggulingkan pemerintahan Jerman dan mendirikan pemerintahan monarki.

Pemimpin kelompok itu ialah seorang bangsawan keturunan monarki Jerman bernama Pangeran Heinrich XIII Reuss

Dia memimpin organisasi sayap kanan yang tidak mengakui keberadaan pemerintah dan menolak otoritas pemerintah, antara lain dengan menolak membayar pajak.

Kelompok kudeta itu dikatakan telah mempersiapkan Hari X untuk menyerbu gedung parlemen Reichstag dan merebut kekuasaan.

Heinrich XIII ditangkap bersama dengan tersangka komplotan lainnya – termasuk mantan anggota parlemen sayap kanan dan mantan tentara – dalam operasi nasional yang dilakukan oleh ribuan pasukan keamanan.

Pangeran Heinrich XIII Reuss, keturunan keluarga bangsawan dengan sejarah lebih dari delapan abad, akan diangkat sebagai pemimpin baru Jerman jika rencana itu berhasil, kata para pejabat.

Henrich memimpin kelompok Reichsbuerger, atau Warga Negara Reich, sebuah gerakan yang menyatukan ekstremis sayap kanan dan ahli teori konspirasi.

Henrich merencanakan untuk menyerbu parlemen dan telah membuat draf susunan pemerintahan baru.

Heinrich XIII, seorang pengusaha real estate, berusia 71 tahun, ditangkap di kediamannya di Frankfurt.

Dia tinggal di sebuah kastil di Bad Lobenstein yang secara turun temurun ditempati oleh keluarga aristokrasi Jerman.

Di kediaman megah inilah sang pangeran berkomplot dengan sejumlah orang untuk menggulingkan pemerintah Jerman.

Selama ini dia terang-terangan menunjukkan sikap ekstrem dan meyakini gerakan Reichsbuerger sebagai kelanjutan Reich Jerman yang berkuasa sebelum Perang Dunia I.

Henrich tidak mengakui republik Jerman modern sekarang ini karena menganggap pengunduran diri kaisar Jerman pada 1918 sebagai paksaan oleh kekuatan radikal yang anti-monarki.

Tidak semua keturunan aristokrat Jerman setuju dengan garis politik Heinerich.

Keluarga bangsawan lain memiliki pandangan yang sangat berbeda dan telah lama berusaha menjauhkan diri darinya.

Pangeran Heinrich XIV Reuss yang lebih muda malah menganggap Heinrich XIII sebagai orang gila.

Pangeran Heinrich XIV Reuss yang berbasis di Austria, mengatakan sangat terkejut mendengar dugaan keterlibatan kerabatnya dalam rencana untuk menggulingkan pemerintah.

Hal ini sangat buruk bagi reputasi keluarga monarki yang masih hidup sebagai bagian dari warisan budaya.

Heinrich XIII Reuss adalah salah satu keturunan terakhir dari sebuah dinasti yang pernah memerintah sebagian besar Jerman Timur sebelum 1900-an.

Heinrich XIII berasal dari House of Reuss, yang selama berabad-abad menguasai sebagian negara bagian Thueringen saat ini hingga revolusi Jerman tahun 1918 yang berujung pada pendirian Republik Weimar.

Dalam berbagai pidatonya, Heinrich XIII mengungkapkan sikap yang membenci Yahudi. 

Dia mengatakan bahwa Jerman telah menjadi negara jajahan sejak Perang Dunia II.

Karena itu, dia membuat organisasi supaya Jerman mendapatkan kembali kedaulatannya.

Dia mengatakan monarki di seluruh dunia, termasuk Prancis, telah digulingkan karena campur tangan kekuatan asing, yang ingin membangun struktur perusahaan untuk mengejar keuntungan.

Akibatnya, rakyat menderita.

Negara bagian di Jerman timur dikenal dengan kekuatan sayap kanan yang masih bertahan.

Dinasti Reuss menamai semua anak laki-lakinya Heinrich atau Henry setelah akhir abad ke-12.

Pemberian nama itu untuk menghormati Henry IV, Kaisar Romawi Suci, yang mewariskan kepada mereka tanah perdikan untuk dikelola.

Meskipun secara resmi tidak ada lagi pangeran dan putri di Jerman, beberapa keturunan seperti Heinrich terus menggunakan gelar tersebut.

Polisi tidak main-main dalam melakukan operasi, karena kelompok sayap kanan yang ada di balik rencana itu punya persiapan senjata lengkap dan menimbulkan ancaman nyata. 

Senjata yang disita termasuk busur, senapan berbagai jenis, dan amunisi.

Rencananya, kelompok ini akan menyerbu ibukota Berlin, menangkap anggota parlemen, dan mengeksekusi kanselir Jerman pada Hari X ketika kudeta dilancarkan.

Setelah kudeta berhasil Heinrich XIII akan mengambil alih kekuasaan dan mengembalikan konstitusi menjadi monarki dengan Kaisar Heinrich XIII sebagai kepala negara.

Rencana kudeta ini adalah kasus terbaru dari serangkaian ancaman kudeta yang ditemukan dalam beberapa tahun terakhir dari jaringan ekstremis.

Sejak 2016, Pemerintah Jerman telah mencabut lisensi lebih dari 1.000 senjata dari orang-orang yang terlibat Reichsbürger.

Namun, akhir 2021 masih ada 500 orang yang memiliki lisensi senjata yang masih berlaku.

Mereka yang pernah tertangkap dan diketahui memiliki senjata berat, merupakan ancaman paling besar dalam sejarah  Jerman pasca-Perang Dunia II.

Gerakan sayap kanan ekstrem Heinrich XIII ini diduga punya jaringan internasional yang cukup kuat, terutama di Rusia dan Amerika.

Di Rusia, kelompok sayap kanan ekstrem yang ingin menghidupkan kembali monarki masih punyan jaringan kuat.

Di Amerika, kelompok sayap kanan punya pengaruh politik sangat kuat di Partai Republik.

Ketika Presiden Donald Trump berkuasa, kelompok sayap kanan ini mempunyai peran dominan, karena Trump sendiri penganut politik sayap kanan yang sering bersikap dan bertindak rasis dan diskriminatif.

Kelompok sayap kanan ini bersenjata lengkap dan punya cukup logistik untuk melakukan serangan berbahaya.

Ketika Trump dinyatakan kalah pada pemilihan presiden 2020, ribuan pendukungnya marah dan menyerbu dan menduduki gedung DPR dengan membawa senjata api berbagai jenis dan ukuran.

Obsesi terhadap kejayaan masa lalu bisa memunculkan gerakan ekstrem seperti yang terjadi di Jerman, Amerika, Rusia, dan di manapun.

Di Indonesia, gejala yang sama juga muncul.

Di tengah kondisi yang makin sumpek dan tidak menentu, selalu muncul kerinduan untuk kembali ke masa lalu.

Seperti yang banyak tertulis di bak belakang truk, ‘’Piye, luwih enak jamanku, toh?” (**)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler