Hello Baby, Ichik-Ichik with Me?

Senin, 17 Mei 2010 – 04:06 WIB
Suasana dalam sebuah diskotik di Bali. Turis wanita dan pemandu wisata berbaur menjadi satu. Foto: Miftahuddin/Radar bali
Fenomena anak pantai di Kuta sebenarnya muncul kali pertama sekitar 1970-anSaat itu kondisi pantai yang dikenal dengan keelokan sunset-nya itu masih "perawan".  Alang-alang tumbuh subur di sana

BACA JUGA: Mitos Sperma Bali di Mata Turis

Belum ada toko-toko, apalagi tempat hiburan seperti sekarang
Meski begitu, gelombang turis asing terus berdatangan ke sana

BACA JUGA: Anak Pantai Bikin Kangen Turis


  
"Waktu itu (1970-an, Red) Kuta diserbu kaum hippies dari Amerika, Eropa, dan Australia," kata seorang pelaku kesenian yang sudah bergelut dengan Pantai Kuta sejak saat itu dengan nama samaran Anton
Seperti yang dia ketahui, saat itu berkecamuk perang Vietnam

BACA JUGA: WN India Minta Berdamai

Amerika Serikat bersama sekutunya menyerang Vietnam Utara
  
:TERKAIT Untuk mendukung peperangan, pemerintah Amerika mengeluarkan kebijakan agar para pemuda mengikuti wajib militerTapi, sebagian pemuda Amerika menolak kebijakan tersebutKaum penentang yang akhirnya dikenal dengan sebutan hippies itu pun berduyun-duyun meninggalkan negaranyaInilah yang disebut dengan gelombang hippiesDengan sangu pas-pasan, mereka keliling dunia mengampanyekan antiperang"Make Love Not War" itu adalah slogan terkenal yang menjadi semboyan kaum hippies
  
"Sampailah mereka ke sini (Bali, Red)," kata AntonPria yang lihai bermain gitar itu mengenang, ketika itu turis-turis asing yang datang di Bali berdandan aneh-aneh khas hippiesRambut gondrong, brewokan, dan berpakaian ngejreng
  
Nah, kebanjiran turis-turis asing membuat pemuda-pemuda Indonesia mulai melirik Bali untuk berwisata"Waktu itu saya masih magang menjadi pemandu wisata di JogjaMendengar kabar itu saya langsung pergi ke Bali," ucap pria 57 tahun itu saat ditemui di rumahnya di kawasan Kuta
  
Kali pertama dia datang, belum banyak pemuda lokal yang membaur dengan wisatawan asingKebanyakan adalah mahasiswa Universitas Udayana (Unud) yang ingin mengasah keterampilan berbahasa Inggris dengan para buleSelain mahasiswa, senimanlah yang banyak bergabung dengan turis asingMayoritas seniman itu pendatang dari kota-kota besar di IndonesiaMisalnya, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Jogja"Tapi, hampir semua orang berpendidikan, minimal S-1, dan mahir berbahasa Inggris," katanya
  
Kebiasaan Anton saat itu adalah menikmati sunset sambil bermain gitar di bawah pohon kelapa"Kalau saya sudah nyanyi, bule-bule duduk melingkar di depan saya," ucap pria lulusan Akademi Bahasa Asing Jogja itu"Pokoknya 85 persen hidup saya dulu untuk gumbul (berkumpul) bule," imbuhnya, lalu tertawa
  
Pergaulan bebas ketika itu juga tak jauh berbeda dengan sekarangMenurut dia, jika suka sama suka, mereka lanjut ke "ranjang"Banyak juga di antara mereka yang cocok, lalu menikah
  
Sekitar 1985 Kuta berkembang pesatHotel, tempat hiburan, dan toko-toko mulai banyak dibangunSuasana damai itu akhirnya bergeser sejak 1990-an ke atasKala itu gelombang kedatangan pemuda dari beberapa daerah di luar Kuta dan Bali sangat besarMereka tidak punya keahlian apa-apa"Mungkin mereka SMP saja nggak lulus," ucap pria yang hidup mengamen dari kafe ke kafe ituKondisi Kuta pun berubah menjadi ruwet
  
Pemuda-pemuda urakan memadati KutaKarena tak bisa berbahasa Inggris, mereka menggoda bule dengan tidak sopan"Hello baby, ?ichik-ichik? with me," katanya menirukan ungkapan yang marak saat ituIchik-ichik adalah istilah untuk berhubungan seksual"Wah, pokoknya rusak lah," capnya

Lama-kelamaan Bali mulai berbenahAnton menganggap kini penataan pariwista Bali sudah lumayan baik meski harus ada pembenahanSekarang anak pantai sudah terkoordinasi dengan baik(kuh/c4/kum)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bekas Tambang Batubara, Tak Direklamasi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler