jpnn.com, JAKARTA - Ketua Setara Institute Hendardi menyebut bom bunuh diri di Terminal Kampung Melayu merupakan salah satu aksi dari Jemaah Ansharut Daulah (JAD) yang tidak terdeteksi dan yang tidak berhasil dicegah aparat kepolisian.
JAD merupakan bagian dari jaringan radikal Islamic State in Irak and Syria (ISIS) di Indonesia.
BACA JUGA: Pasca-Bom Kampung Melayu, DPR Tuntaskan RUU Terorisme
Kondisi tersebut, menurut Hendari, patut disayangkan. Karena akibat yang ditimbulkan telah sangat meresahkan masyarakat.
Karena itu pemerintah dan DPR diharapkan segera mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 15/2003 tentang Tindak Pidana Terorisme.
BACA JUGA: Keluarga Tak Percaya Ichwan Pelaku Bom Kampung Melayu
"Tapi harus diiingat, revisi tidak boleh mengubah pendekatan pemberantasan terorisme dari sistem peradilan pidana menjadi pendekatan non hukum," ujar Hendardi di Jakarta, Senin (29/5).
Hendardi mengemukakan pandangannya, karena terorisme merupakan kejahatan lintas negara dan hanya bisa diberantas dengan pendekatan hukum dengan kewenangan preventif yang lebih luas jangkauannya.
BACA JUGA: DPR Dinilai Lamban Membahas Revisi UU Terorisme
Namun gagasan memasukkan TNI sebagai aktor dalam pemberantasan terorisme, hanya akan keluar dari mekanisme sistem peradilan pidana terpadu. Karena TNI bukan aparat penegak hukum yang bertugas memberantas kejahatan, termasuk kejahatan terorisme.
Menurut Hendardi, pelibatan TNI sebaiknya tetap dalam skema perbantuan tugas operasi militer selain perang.
Mekanismenya penting diatur dengan UU Perbantuan Militer. Namun sayangnya undang-undang tersebut sampai saat ini belum juga dibentuk, padahal mandat dari UU TNI.
"Saya kira pernyataan Menkopolhukam Wiranto yang menepis kekhawatiran atas keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme dan klaim Ketua Panja RUU Antiterorisme Muhammad Syafii yang menyatakan semua fraksi setuju dengan pelibatan TNI, harus dipandang sebagai upaya melemahkan sistem peradilan pidana terorisme," katanya.
Hendardi menilai, usulan pelibatan TNI menjadi bagian dari penegakan hukum pidana terorisme, sangat membahayakan akuntabilitas sistem peradilan pidana di Indonesia.
Selain itu, juga berpotensi menggeser pendekatan hukum menjadi pendekatan militer dalam pemberantasan terorisme.
"Dampak perubahan pendekatan ini membuka peluang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Karena dalam pendekatan keamanan, due process of law cenderung diabaikan," pungkas Hendardi.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pantau Terus CCTV dan Saling Koordinasi Dengan Patroli Lapangan!
Redaktur & Reporter : Ken Girsang