jpnn.com - JAKARTA - Mantan Kepala BIN, AM Hendropriyono menilai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah terlalu berlebihan dalam menanggapi aksi penyadapan oleh intelijen Australia. Menurut Hendro, justru sikap berlebihan telah menunjukkan SBY tidak memahami cara kerja intelijen.
"Reaksi berlebihan dari kedua belah pihak (Indonesia dan Australia, red). Tak ada yang memiliki pemahaman mendalam tentang intelijen," kata Hendro dalam wawancara dengan Fairfax Media yang dirilis harian The Age di Australia edisi hari ini.
BACA JUGA: Disebut Terima Rp 3 Miliar, Joyo Winoto Bungkam
Pasca-terungkapnya aksi penyadapan oleh Directorate Signals Defense (DSD) Australia terhadap pembicaraan telepon Presiden SBY dan lingkaran dekatnya, hubungan antara Jakarta dengan Canberra memburuk. Indonesia bahkan memutuskan untuk mengakhiri kerjasama militer dengan Australia.
Di sisi lain, Australia tidak mau meminta maaf. PM Australia Tony Abbot seolah tak mau tahu dengan mencuatnya dokumen penyadapan yang awalnya dibocorkan oleh Edward Snowden, rekanan Badan Keamanan Nasional (NSA) di Amerika Serikat (AS).
BACA JUGA: Hercules Dipindah di Lapas Cipinang
Menurut Hendro, penyadapan hanya urusan kecil yang sifatnya teknis. Ia mencontohkan, intelijen ibarat dua petinju di atas ring. Keduanya saling memukul dan menahan pukulan lawan. Tapi itu hanya sebatas di atas ring.
"Tapi jika urusan pemerintahan sudah urusan politik, maka itu menjadi salah. Itu sangat salah. Dalam arena politik, politisi itu terlalu berlebihan," ulasnya.
BACA JUGA: Mantan KaBIN Tegaskan Intel Indonesia Juga Ganggu Australia
Karenanya, kata Hendro, sebaiknya SBY maupun PM Australia, Tony Abbot bisa saling menahan diri. "Saya harap kedua pemimpin kita, SBY dan Tony Abbot (PM Australia) harusnya tidak terlalu emosional. Mohon jangan menciderai (hubungan antara kedua negara, red) karena ini hanya hal kecil. Ini hanya hal teknis," ucap Hendro.
Meski demikian Hendro menyarankan PM Tony Abbot untuk mau meminta maaf. "Dia bilang tidak mau minta maaf. Dalam sudut pandang diplomatik, sebaiknya (Abbot, red) minta maaf," tegasnya sembari mencontohkan permintaan maaf Presiden AS Barack Obama kepada Kanselir Jerman Angela Merkel menyusul bocornya dokumen penyadapan NSA terhadap salah satu pemimpin di Eropa itu.
Lebih lanjut Hendro mengingatkan soal pentingnya hubungan antara kedua negara. Mendurutnya, tidak ada teman ataupun musuh yang permanen. "Yang ada kepentingan permanen yang terus berubah," tegasnya.(ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kerjasama Intelijen jangan Timbulkan Ketergantungan Teknologi
Redaktur : Tim Redaksi