jpnn.com, JAKARTA - Indikasi menghangatnya suhu politik di kalangan elite nasional sudah terlihat meskipun kampanye Pilpres 2019 belum genap dua bulan berjalan.
Upaya menurunkan suhu politik belum muncul dari kedua kubu pasangan calon. Direktur Eksekutif EmrusCorner, Emrus Sihombing mengatakan indikasi meningkatnya suhu politik jelas terlihat dari lontaran pesan komunikasi politik dari kedua kubu.
BACA JUGA: Prabowo - Sandi Gunakan Teori Bakar Rumah dalam Kampanye?
Dia mencontohkan, salah satu kubu misalnya menyampaikan rakyat Indonesia 99 persen hidup pas-pasan, harga-harga bahan pokok di pasar naik.
Kemudian soal tempe setipis ATM dan chicken rice di Singapura lebih murah dibanding di Jakarta. Serta janji pemerintah yang tidak ditepati disebut sebagai kebohongan.
BACA JUGA: Pengikut Ustaz Kondang Terbelah Pilpres
Seakan tidak mau ketinggalan, kata Emrus, kubu lain juga menembakkan peluru komunikasi politik ke ruang publik.
Hal ini bisa jadi sebagai respons dari kubu kawan bersaing dalam persaingan pilpres dengan mengatakan politik sontoloyo dan genderuwo.
BACA JUGA: Kapitra Bingung Alumni 212 Getol Dukung Prabowo - Sandi
"Berbalas pantun politik yang sedang terjadi saat ini, menurut saya, tidak boleh kita biarkan," kata Emrus, Kamis (15/11).
Emrus menilai sesungguhnya kampanye semacam itu bila terus dipelihara elite politik, sangat berpotensi menimbulkan polarisasi dan gesekan sosial.
"Bahkan bisa memicu konflik horizontal di tengah masyarakat," jelasnya.
Emrus menegaskan, bangsa ini harus sesegera mungkin memikirkan solusi dan mengimplementasikannya dengan cepat.
Emrus menyarankan tiga pemikiran solutif untuk mewujudkan pemilu damai, bermutu, yang diikat dengan kebersamaan kebangsaan Indonesia.
Pertama, menawarkan program bukan adu program. Adu program belum saatnya bisa dilakukan dalam suatu kompetisi politik di tanah air.
Sebab, kata Emrus, dalam kampanye pilpres kali ini dengan adu program, para aktor politik masih cenderung berupaya keras melakukan pembenaran programnya.
Tanpa sedikitpun mengemukakan sisi kekurangan dari programnya itu. "Padahal, tidak ada program sempurna," tegasnya.
Di sisi lain, program yang ditawarkan oleh teman bersaing selalu dianggap tidak benar. Upaya pembenaran dilakukan aktor politik bahwa program kawan bersaing selalu salah.
"Padahal sejelek apa pun program, pasti ada sisi bagusnya," ungkapnya.
Melihat belum munculnya kedewasaan berpolitik oleh beberapa elite, lebih baik menawarkan daripada adu program.
Kedua, saling membela. Walaupun tampak sulit, jika ada kemauan pasti bisa diwujudkan. Ketika salah satu pasangan diserang atau dirugikan wacana hoaks, ujaran kebencian, provokatif, eksploitasi politik identitas dan sejenisnya, maka paslon lain yang bisa jadi diuntungkan dari wacana tersebut, maju ke depan membela yang dirugikan.
"Sembari mengatakan “kami tidak mau menang di tengah munculnya politik hoaks, ujaran kebencian, provokatif, eksploitasi politik identitas dan sejenisnya”. Demikian sebaliknya," katanya.
Bila saling membela dilakukan antara masing-masing paslon, Emrus memastikan hoaks, ujaran kebencian, provokatif, eksploitasi politik identitas akan layu sebelum berkembang.
Sebaliknya, jika upaya saling membela dikesampingkan demi semata-mata memperoleh kemenangan, sangat sulit meredam hoaks, ujaran kebencian, provokatif, eksploitasi politik identitas dan sejenisnya, tentu dengan segala konsekuensi yang menyertainya.
"Kampanye damai bisa sulit terwujud," tegasnya.
Tindakan saling membela harus dilakukan secara masif. Tidak boleh ada sedikitpun pembiaran terhadap perilaku yang mengganggu keberadaban kampanye hingga pascapenetapan pemenang tahun depan.
Ketiga, melakukan pertemuan silaturahmi antarkedua paslon sebulan satu kali. Pertemuan ini dilakukan di beberapa tempat secara bergantian di seluruh wilayah Indonesia.
Setting acara bisa saja bermusik dan bernyanyi bersama serta bersenda gurau antarkedua paslon, yang juga dihadiri oleh semua lapisan masyarakat.
"Acara ini harus steril dari perbincangan politik dan saling menyindir," ungkapnya.
Lebih menarik lagi bila penyelenggaranya dari perkumpulan masyarakat biasa, yang juga steril dari kepentingan politik praktis seperti perkumpulan pengamen, pemulung, nelayan tradisional, petani penggarap, pedagang asongan, dan sebagainya.
Jika ide ini dirancang secara kreatif, menarik dengan nuansa budaya lokal setempat tanpa meninggalkan nilai kesederhanaan, maka acara ini pasti mengandung nilai berita menarik untuk diliput berbagai media massa nasional bahkan internasional.
Berita tesebut dalam bentuk narasi, audio, audio video pasti bertebaran di sosial media, yang setiap saat bisa diakses masyarakat.
"Bayangan saya, bila acara ini terwujud Bapak Joko Widodo bermusik, Bapak Prabowo Subianto bersama masyarakat bernyanyi "tanah airku tidak kulupakan". Pada saat itu, saya yakin, kita larut dalam kebersamaan kebangsaan Indonesia raya," pungkasnya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kapitra Tuding Prabowo-Sandi Hanya Manfaatkan Umat Islam
Redaktur & Reporter : Boy