jpnn.com, JAKARTA - Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator industri keuangan terlihat kian lemah seiring terkuaknya hasil pemeriksaan Badan Pemerika Keuangan (BPK).
Kondisi itu tergambar dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) Semester II tahun 2019. Lewat laporan itu, BPK menguak lemahnya pengawasan OJK terhadap 7 bank karena dianggap tak sesuai ketentuan.
BACA JUGA: Ahmad Najib Cium Gelagat Aneh OJK di Tengah Pandemi Covid-19
Hergun -sapaan Heri Gunawan menyatakan, sebagai regulator industri keuangan, salah satu tugas pokok OJK adalah mengawasi perbankan dan industri keuangan nonbank (IKNB).
"Namun OJK semakin memperlihatkan ketidakmampuannya dalam melakukan fungsi pokoknya tersebut," kata Hergun di Jakarta, Rabu (13/5).
BACA JUGA: Hergun: Pengawasan Lemah, Fungsi OJK Kembalikan Saja ke BI
Menurut legislator Gerindra ini, hasil pemeriksaan BPK terbaru juga menyebutkan, kinerja pengawasan, pengaturan, dan perlindungan yang dilakukan OJK cenderung dipertanyakan mengingat permasalahan di 7 bank.
Lebih parahnya lagi, kata Hergun, OJK menyetujui pemberian informasi dan pengalihan penilaian risiko oleh bank jangkar (15 bank beraset terbesar) yang ditunjuk pemerintah sebagai penyangga likuiditas kebutuhan perbankan selama pandemi Covid-19.
BACA JUGA: Virus Corona Menyerang Ekonomi, Ketua Komisi XI Beri Dukungan kepada BI, OJK dan LPS
"Padahal kan kerahasiaan data perbankan sangat esensial. Mestinya OJK mengawasi semua aktivitas perbankan itu. Di sinilah, OJK bertindak sembrono," tegas wakil ketua Fraksi Gerindra ini.
Sebenarnya OJK sudah memberlakukan Peraturan OJK No.11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran sudah mengatur mengenai strukturisasi kredit. Namun, katanya, POJK ini tampaknya turut direduksi oleh PP No.23/2020 yang merupakan turunan dari Perppu No.1/2020.
Dalam POJK itu diatur kebijakan stimulus dengan berdasarkan kriteria. Misalnya, penilaian kualitas kredit/ pembiayaan/ penyediaan dana lain hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga untuk kredit hingga Rp10 miliar.
Kemudian, restrukturisasi dengan peningkatan kualitas kredit/pembiayaan menjadi lancar setelah direstrukturisasi. Nah, ketentuan restrukturisasi ini menurut Hergun dapat diterapkan bank tanpa batasan plafon kredit.
"Kok, sekarang muncul PP No.23 itu? Lantas mengapa fungsi OJK direduksi menjadi hanya sekadar pemberi informasi? Apakah POJK sudah tidak dianggap lagi oleh industri?" tandas Hergun mempertanyakan.(fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam