jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan menilai ancaman pemerintahan Presiden Donald Trump akan menginvestigasi sejumlah negara termasuk Indonesia, terkait pengenaan pajak terhadap layanan perusahaan digital asal Amerika Serikat seperti Netflix, Google hingga Facebook, berlebihan.
"Mengenai ancaman pemerintahan Presiden Trump akan menginvestigasi rencana pengenaan pajak terhadap layanan perusahaan digital asal Amerika, karena khawatir terhadap skema pajak yang diterapkan tidak adil, saya kira itu sesuatu yang berlebihan," ucap Heri Gunawan, Sabtu (6/6).
BACA JUGA: Donald Trump Benar-Benar Dibuat Mati Kutu Oleh Twitter
Ancaman investigasi seperti diungkap Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) pada Kamis (4/6) lalu, muncul karena kekhawatiran Trump terhadap mitra dagangnya akan menerapkan skema pajak yang tidak adil bagi perusahaan teknologi asal AS.
"Nanti kan tinggal dilihat seperti apa skema pajak yang akan diberlakukan pemerintah. Adil atau tidak? Selama pengenaan pajak itu diberlakukan sama dan adil bagi semua pelaku usaha, saya kira mereka juga tidak boleh mempersoalkan karena Indonesia negara berdaulat," tegas legislator Gerindra ini.
BACA JUGA: Mantan Menhan: Amerika Lebih Baik Tanpa Donald Trump
Hergun -sapaan Heri Gunawan, mengatakan bahwa Indonesia harus berupaya dan terus bekerja keras meningkatkan penerimaan negara melalui pajak. Apakah melalui sumber-sumber yang sudah ada dan masuk dalam aturan perundangan, maupun sektor yang pontensial namun belum tersentuh oleh regulasi yang ada.
Apalagi, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menerbitkan PMK Nomor 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, dan Penyetoran, serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Sistem Elektronik.
BACA JUGA: Mantan Anak Buah Sebut Donald Trump Memecah Belah Amerika
Dengan aturan ini, pemerintah akan mengenakan PPN sebesar 10% bagi produk-produk perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) seperti layanan streaming musik dan film seperti Netflix, Sprotify, dan mulai berlaku 1 Juli 2020 mendatang. Tujuannya untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan berusaha bagi pelaku usaha dalam dan luar negeri baik konvensional maupun digital.
Hergun menilai penerapan pajak digital saat ini semakin penting seiring dengan terus naiknya pengguna dan penyedia layanan digital yang beroperasi di Indonesia. Terlebih dengan adanya pandemi Covid-19 ini, pajak digital bisa menjadi sumber pendapatan negara baru untuk menutup defisit APBN.
Oleh karena itu, kata wakil ketua Fraksi Gerindra DPR ini, terobosan sumber penerimaan baru ini harus didukung. Bagaimanapun juga, sektor usaha yang mengambil keuntungan ekonomi dari operasionalnya di Indonesia seharusnya mematuhi ketentuan ini.
"Perusahaan yang beroperasi dan memperoleh pendapatan dari Indonesia, mau ditarikin pajak, masa dibilang diskriminasi? Kalau Trump bisa bilang Make America Great Again, ya bayar pajaknya dong. Masa nyari duit di Indonesia nggak mau bayar pajak?" ujar ketua DPP Gerindra ini.
Menurutnya, transaksi layanan perusahaan teknologi tersebut umumnya tidak dilakukan di dalam negeri. Pelanggan diwajibkan mentransfer biaya berlangganan pada rekening perusahaan di luar negeri. Hal ini ditegaskan Hergun, merupakan bukti konkret kebocoran ekonomi Indonesia. Namun demikian, pemerintah selama ini belum punya banyak upaya dalam mengejar penerimaan yang nyata itu. Ujungnya regulator pajak hanya bisa mengejar para wajib pajak dalam negeri.
Diakuinya, persoalan ini menjadi isu besar terlepas dari apakah dimaknai akan memunculkan perang dagang dengan negara asal perusahaan tersebut. Yang jelas bagi Indonesia, berbagai potensi pajak yang ada tentu harus dioptimalkan.
Pemerintah sendiri melalui Omnibus Law sedang merancang aturan untuk mengenakan pajak bagi perusahaan over the top (OTT) yang beroperasi di Indoensia, seperti Netflix, Spotify dan lainnya. Termasuk Google, Facebook. Amazon, yang selama ini bukan Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.
Lewat Omnibus Law, definisi BUT ini akan diubah dari semula berdasarkan keberadaan fisik kantornya di Indonesia, menjadi atas dasar kegiatan ekonomi yang dijalankan di Indonesia.
"Selama ini, perusahaan-perusahaan itu tidak tersentuh oleh aturan perundang-undangan kita tentang Pajak. Bila aturan untuk pengenaan pajak bagi OTT ini sudah ada, tanpa mereka menjadi BUT, negara bisa memperoleh penerimaan dari usaha yang mereka jalankan di Indonesia," tandas politikus asal Sukabumi ini. (fat/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam