jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan, mengatakan penundaan cicilan kredit hingga keringanan bunga selama 1 tahun bagi tukang ojek, sopir taksi, nelayan dan UMKM sebagaimana pidato Presiden Jokowi, 24 Maret lalu, tidak berjalan mulus di lapangan.
Politikus Gerindra itu pun menyelisik bahwa apa yang disampaikan Presiden Jokowi itu tidak terlepas dari peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang membuat skenario program relaksasi atau restrukturisasi kredit yang wajib dilakukan oleh perbankan atau lembaga keuangan non bank kepada para debiturnya.
BACA JUGA: Terlilit Utang Cicilan Motor, Driver Ojek Online ini Terpaksa Mencuri Handphone
Hal itu tertuang dalam POJK No. 11/2020 yang terbit 13 Maret 2020.
"Inisiatif OJK ini baik. Sayangnya di lapangan tak seindah yang dibisikkan (dewan komisioner) OJK kepada Presiden. Banyak kendala-kendala yang dihadapi oleh lembaga perbankan dan perusahaan pembiayaan (leasing) dalam mengimplementasikan perintah POJK," ucap politikus yang beken disapa Hergun tersebut, dalam keterangannya, Jumat (17/4).
BACA JUGA: Indosurya Gagal Bayar, OJK Didesak Perbaiki Kinerja
Ada sejumlah kendala yang dihadapi ratusan lembaga pembiayaan dalam mengimplementasikan relaksasi kredit, pertama para debitur hanya mengetahui pidato Presiden Jokowi tentang pemberian penundaan cicilan selama 1 tahun namun tidak tahu isi POJK.
Akibatnya, lanjut legislator asal Sukabumi ini, pengajuan restrukturisasi kredit oleh para debitur kepada industri keuangan tak semulus yang dibayangkan.
BACA JUGA: Kabar Penundaan Cicilan Kredit Bikin Heboh, OJK Harus Bertanggung Jawab
"Di sini terlihat bahwa OJK kurang menyosialisasikan aturan yang dibuatnya," tukas Hergun.
Berikutnya, pengakuan Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) yang diterimanya menyatakan, untuk menjalankan restrukturisasi kredit yang diajukan debitur, perusahaan pembiayaan juga membutuhkan restrukturisasi dari pihak perbankan maupun dari para pemegang surat berharga sebagai sumber dana utama mereka.
"Kasarnya, kalau perusahaan pembiayaan memberikan relaksasi sepuluh ke nasabah, harusnya perusahaan pembiayaan diberi relaksasi 10 juga oleh perbankan sebagai sumber dananya (mirroring). Ini yang luput diatur oleh POJK. Jadinya jalan sendiri-sendiri," terang wakil ketua Fraksi Gerindra DPR ini.
Masalah serius lainnya, OJK hanya memerintahkan kepada lembaga keuangan untuk melakulan restrukturisasi atas pinjaman para debiturnya.
Namun di sisi lain OJK tidak memberi keringanan pungutan yang selama ini ditarik oleh OJK dari lembaga keuangan.
Pungutan OJK terhadap lembaga keuangan cukup besar nilainya yaitu 0,045 persen dari total aset yang dimiliki oleh lembaga keuangan.
Pada 2019 total pungutan yang berhasil dikumpulkan OJK mencapai Rp5,99 triliun. Bahkan pada 2020 target pungutan mencapai Rp6,06 triliun.
Kalau mau adil, lanjut Hergun, semestinya OJK jangan cuma mewajibkan industri lembaga keuangan dan perusahaan pembiayaan untuk melakukan restrukturisasi kepada para debitur, tetapi OJK juga harus berani melakukan moratorium pungutannya selama pandemi Covid-19 ini terjadi.
"Jadi, semua direlaksasi, tetapi bagaimana dengan iuran industri ke OJK?" sindir ketua DPP Gerindra ini.
Hergun menyebutkan, sebagai pembuat skenario kebijakan countercyclical dalam menghadapi dampak pandemi covid-19, OJK seharusnya mengetahui bahwa tidak hanya tukang ojek, sopir taksi, nelayan dan UMKM yang terdampak covid-19, perusahaan pembiayaan juga merasakan pukulan berat.
Maka, OJK sudah seharusnya bertanggungjawab dengan menyiapkan skenario dari hulu hingga hilir. Termasuk, menyiapkan solusi atas permasalahan yang dihadapi perusahaan pembiayaan.
"OJK harus merelaksasi pungutan bagi industri keuangan yang melaksanakan restrukturisasi sebagaimana yang diperintahkan oleh OJK," tegasnya.
Hal itu menurutnya penting supaya relaksasi kredit yang disampaikan Presiden Jokowi berjalan mulus. Sebab, data terakhir menunjukkan, hampir semua perusahaan pembiayaan telah melaksanakan program restrukturisasi kepada para debiturnya.
Contohnya, BRI sudah merestrukturisasi pinjaman senilai Rp14,9 triliun yang diajukan oleh 134.000 pelaku UMKM.
Bank BTN sudah merestrukturisasi pinjaman senilai Rp. 2,7 triliun milik 17.000 debiturnya.
APPI juga melaporkan bahwa hingga 13 April 2020, anggota ratusan asosiasi sudah menyetujui restrukturisasi terhadap 65.363 debitur (24,9%) dari 262.138 debitur yang mengajukan restrukturisasi.
Namun perlu dicatat bahwa dalam laporan APPI, besarnya pengajuan restrukturisasi oleh para debitur mengakibatkan potensi kerugian yang ditanggung perusahaan pembiayaan mencapai Rp24 triliun.
Angka itu terdiri dari beban keuangan karena larangan mengeksekusi kendaraan jaminan mencapai Rp19 triliun, dan beban bunga karena relaksasi penundaan cicilan hingga 3 bulan mencapai Rp5,2 triliun.
"Di sinilah dituntut pertanggungjawaban OJK. Setidaknya OJK bisa mengurangi beban yang ditanggung oleh lembaga keuangan dengan membebaskanya dari kewajiban membayar berbagai pungutan untuk menghidupi OJK," tandas Hergun.(fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam