jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA meminta Mahkamah Konstitusi (MK) agar kembali menolak uji materi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 16 Tahun 2019 terkait pernikahan beda agama.
“Aturan UU Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan sudah sesuai dengan aturan konstitusi, prinsip HAM, dan toleransi antarumat beragama,'' ujar Hidayat pada Jumat (11/2).
BACA JUGA: HNW Ajak Hima Persis Teladani Peran M. Natsir yang Menyelamatkan Kemerdekaan RI
Jadi, selayaknya MK menolak uji materi tersebut, apalagi telah menolak permohonan sejenis pada 2015.
HNW, sapaan akrab Hidayat Nur Wahid, mengatakan, setelah amandemen UUD NRI 1945 pada 2002, UUD NRI 1945 secara paripurna mengatur relasi antara HAM dan ajaran agama di Indonesia.
BACA JUGA: HNW Apresiasi Permintaan Maaf BNPT Kepada MUI
Selain dari ketentuan prinsip pada pasal 29 ayat 2, melaksanakan ajaran agama termasuk pernikahan yang sah dan diakui sebagai HAM yang dilindungi.
“Namun, pasal-pasal itu tidak berdiri sendiri. Bahkan, yang berkaitan dengan HAM di UUD NRI 1945. Sebab, pasal soal HAM itu ditutup dengan pembatasan yang termaktub dalam pasal 28J ayat (2) yang menyatakan bahwa salah satu pertimbangan pelaksanaan HAM adalah UU dan nilai-nilai agama,” ujarnya.
BACA JUGA: HNW dan Ormas Islam Mengkritik Radikalisme Dikaitkan dengan Masjid dan Pesantren
Secara lengkap, pasal 28J ayat (2) menyatakan, dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.
Seseorang, kata HNW, tidak bisa berdalih terhadap hak asasi manusia terkait nikah beda agama.
Sebab, ide tersebut bertentangan dengan UU dan nilai-nilai agama. Terutama agama Islam yang hidup di masyarakat.
''Memaksakan pernikahan yang tidak sesuai dengan UU dan ajaran Islam adalah bentuk intoleransi terhadap umat Islam yang mempunyai sikap sesuai ajaran agamanya yang dibenarkan oleh UU Perkawinan,'' ucapnya.
Karena itu, di tengah menguatnya ajakan untuk toleransi dan pentingnya menaati konstitusi, MK tidak melegitimasi hal yang tidak sesuai dengan UUD NRI 1945, apalagi yang bisa menjadi dalih pembenaran intoleransi.
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disahkan melalui Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, Pasal 40 dan 44 KHI melarang dilangsungkannya pernikahan beda agama.
“Ini seharusnya bisa menjadi pertimbangan hakim MK dalam memahami nilai-nilai agama, terutama Islam, sebagaimana disebut pasal 28J ayat (2),” tegas anggota Komisi VIII DPR RI yang membidangi urusan agama tersebut.
Seharusnya, MK mempertimbangkan sikap MUI yang menolak uji materi terhadap UU Perkawinan.
Dengan demikian, MK konsisten terhadap keputusan sebelumnya yang menolak permohonan uji materi tersebut.
''Dalam Islam, laki-laki nonmuslim tidak boleh menikah dengan wanita muslimah. Seharusnya, semua pihak memahami hal ini untuk menguatkan sikap toleransi antarumat beragama juga,” tandas wakil ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini. (mrk/jpnn)
Redaktur : Tarmizi Hamdi
Reporter : Tarmizi Hamdi, Tarmizi Hamdi