Hikayat Ungku Saliah, Si Kakek Berkopiah di Sejumlah Warung Padang

Rabu, 21 Juni 2017 – 11:46 WIB
Ungku Saliah di laman google. Foto: Capture Wenri Wanhar/JPNN.com

jpnn.com - KESAKTIANNYA jadi buah bibir urang awak. Dipercaya membawa keberuntungan, potret Ungku Saliah kerap dijumpai di rumah makan Padang. Fenomena ini pun diangkat sejumlah mahasiswa dalam skripsinya.

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network

BACA JUGA: Mengurai Sejarah Rambut Gaya Demi Moore

"Ungku Saliah tokoh penyebar agama Islam tarekat Syattariyah terkenal di Sungai Sariak, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat," tulis Syofiardi Bachyuljb, tokoh pers Sumatera Barat dalam Ditiup Orang Keramat.

"Banyak kisah tentangnya yang kudengar di masa kecil. Sebagian di luar logika," sambung Bang Sof--demikian pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang itu karib disapa.
Bang Sof anak Sungai Sariak. Sekampung dengan Ungku Saliah. Mereka pernah bermuka-muka.

BACA JUGA: Bung Hatta, Buya Hamka dan Agresi Belanda di Bulan Puasa

Dia menggambarkan, Ungku Saliah berperawakan kecil. Baju gamih. Berkain sarung. Kupiah. Sehelai kain tersampar di bahu. Seorang murid mengiringi dari belakang. Keduanya berjalan kaki. Tidak terlalu pelan. Tidak terlalu cepat.

Bahkan, jurnalis The Jakarta Post itu masih ingat, "udara mengalir ke jidatku dalam hembusan panjang yang pelan," ketika ubun-ubunnya ditiup Ungku Saliah semasa kanak-kanak.

BACA JUGA: Apa yang Terjadi di Bulan Puasa 1944?

Penelitian Ilmiah

Mengintip dokumentasi skripsi mahasiswa Sastra Minangkabau, Fakultas Sastra Universitas Andalas (Unand) Padang, diketahui bahwa pada 2006 pernah ada yang mengangkat lakon Ungku Saliah.

Namanya Mira L. Judul skripsi Biografi dan Dokumentasi Cerita Tentang Ungku Saliah Keramat di Sungai Sariak. Pembimbingnya Dra. Silvia Rosa, M.Hum dan Drs. Khairil Anwar, M.Si.

Nama Ungku Saliah juga termuat dalam Jurnal Sosioteknologi yang dikelola Fakultas Seni Rupa dan Disain, Institut Teknologi Bandung (ITB).

Di edisi April 2009 jurnal tersebut, ada tulisan panjang berjudul Antara Mitos "Ungku Saliah" dengan "Haji Saleh Masuk Neraka": Makna, Konsep Kata Saleh--Pendekatan Semiotik Budaya.

Di badan tulisan, juga di dalam daftar pustaka, Sulastri si penulis naskah itu menyebut, bahwa dirinya antara lain menggunakan skripsi mahasiswa Unand Padang sebagai referensi.

Judul skripsi yang dirujuk Sulastri sama dengan milik Mira L. Tahun lulusnya pun sama. Tapi, penulisnya bukan Mira L. Melainkan Miko Putra. Entahlah...

Dan baru-baru ini, 2016 tempo hari, untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana pendidikan, Apriando Saputra, mahasiswa Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan (Unimed), juga mengajukan skripsi bertajuk Ungku Saliah.

Judulnya Makna Simbol Ungku Saliah pada Kedai-kedai Etnis Minang Pariaman di Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai.

"Masyarakat Minang Pariaman menjadikan foto Ungku Saliah sebagai foto yang dapat membawa keberuntungan, pelaris dagangan dan penolak bala," tulis Apriando dalam skripsinya.

Berbarengan dengan Apriando, Gusni Yunita mahasiswa Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (Fisip) Unand, juga mengangkat sosok Ungku Saliah.

Jika Apriando mengangkat fenomena potret Ungku Saliah di warung makan Padang di Binjai, Sumatera Utara, Gusni Yunita mengkaji pengaruh Sang Ungku di tanah kelahirannya.

Skripsi Gusni berjudul Ungku Saliah dan Pengaruhnya Terhadap Ekonomi Masyarakat (Studi Kasus: Di Nagari Sungai Sariak Kecamatan VII Koto Kabupaten Padang Pariaman).

"Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana sejarah atau kehidupan sehari-hari Ungku Saliah," tulis Gusni.

Anak Sikumbang

Potret Ungku Saliah mulai marak di pajang di rumah makan Padang setelah ia berpulang, 3 Agustus 1974.

Belum ada yang memastikan tanggal, bulan dan tahun kelahirannya. Namun, banyak yang memperkirakan sekitar 1887 di Pasa Panjang Sungai Sariak.

Ayahnya bernama Tulih orang Mandailing. Ibunya Tuneh, perempuan Sungai Sariak dari suku Sikumbang. Karena urang awak berfaham matrilineal, maka dengan sendirinya Ungku Saliah adalah anak Sikumbang.

Orang tua memberinya nama Dawaik. Dari empat beradik kakak, cuma Dawaik yang menjadi ulama.

Umpama pepatah Minang, marantau bujang dahulu di kampung paguno balun, pada usia belasan tahun Dawaik meninggalkan kampung untuk menuntut ilmu tarekat kepada Syekh Muhammad Yatim Tuangku Mudiak Padang di Surau Kalampaian Ampalu Tinggi.

Karena budi perangainya yang baik, Dawaik digelari saliah oleh sang guru. Saliah sama artinya dengan anak yang saleh. Gelar inilah yang kemudian melekat di badannya.

Dawaik juga berguru kepada Syekh Aluma Nan Tuo, di Koto Tuo, Bukittinggi dan Syekh Abdurrahman di Surau Bintungan Tinggi. Keduanya orang tarekat.

Nama Ungku Saliah mulai melekat di badan Dawaik, seiring dibukanya pengajian Surau Ujuang Gunuang Sungai Sariak, kampung halamannya.

Ungku itu panggilan kepada guru mengaji. Kalau di Jawa semacam kyiai. Berselang waktu, Ungku Saliah pun punya banyak murid dan pengikut. Namanya harum.

Orang Keramat

Dawaik anak Sikumbang atau Ungku Saliah dikenal juga bergelar Syekh Kiramatullah. Gelar yang disebut belakangan karena ia diyakini sebagai orang keramat alias sakti.

Cerita kesaktiannya begitu populer. Beredar dari mulut ke mulut.

Dikisahkan, semasa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia (1945-1949), ketika Agresi Belanda masuk Sungai Sariak, rakyat berdatangan, berlindung kepada Ungku Saliah di suraunya.

Ungku Saliah memimpin zikir, tulis Bang Sof. Alhasil, mortir yang dijatuhkan dari pesawat yang tertuju ke suraunya hanya nyemplung ke kolam di samping surau, tak meledak.

Rakyat semakin banyak yang datang. Namun, tiba-tiba Ungku berkata, “ampang lapeh”. Maksudnya, penghambat lepas. Serangan pasukan Belanda tak bisa dibendung lagi.

"Tak lama, pasukan pun datang menyerbu. Banyak laki-laki yang kemudian dibawa, diikat dua hingga lima orang, digiring jalan kaki ke Sicincin, berjarak 27 km, tempat markas Belanda," tulis Bang Sof.

Ungku Saliah ikut ditangkap. Kabarnya, meski dikurung dalam sel, bila waktu salat tiba, ia bisa keluar menembus jeruji besi. Usai salat masuk kembali tanpa dibuka pintunya.

Berselang hari Ungku pun dilepas.

Ada kisah lain tentang Ungku Saliah pada zaman perang.

Suatu hari dia memperingatkan rakyat di Pasar Lubuak Aluang, Pariaman untuk segera membangkit padi yang terjemur. Akan turun hujan lebat, katanya. Padahal, saat itu panas terik.

Ternyata, ada serangan Belanda. Lubuak Aluang dihujani bom dan mortir. Tugu perang di Lubuak Aluang masih ada hingga hari ini. Di tepi jalan dari arah Padang ke Bukittinggi.

Meski bukan dokter, tak sedikit orang sakit pergi berobat padanya. Sembuh. Apa resepnya? Apa saja yang ada di depan mata.

Pernah pula suatu ketika datang air bah. Batang air meluap. Lalu, Ungku Saliah melempar batu kerikil ke arah bah. Apa yang terjadi? Air bah itu berbelok. Kampung pun selamat.

Kisah lainnya tentang kesaktian Ungku Saliah Kiramaik, dia bisa meraga sukma. Berada di tempat berbeda dalam waktu bersamaan.

Tersebut bahwa acapkali orang berselisih omong, mempertahankan pendapat masing-masing.

Semisal, "waktu Ungku Saliah ditahan di penjara Belanda, dua orang bertengkar setelah salat Jumat. Yang satu bersikukuh Ungku Saliah menjadi imam di masjidnya, sedangkan yang satu lagi bersikukuh saat itu ia di samping Ungku Saliah salat Jumat di masjid lainnya," tulis Bang Sof di laman facebooknya.

Dari Balai ke Balai

Dari semua kisah kesaktian Ungku Saliah, yang paling melegenda adalah perjalanannya dari balai ke balai.

Di selingkar Pariaman, ada budaya balai (pasar) bergilir. Senen di Kurai Taji. Sampai ada lagu Kurai Taji balai sinayan/urang tuo manggaleh lado/capek kaki ringan tangan/namun salero lapeh juo...

Hari Rabu balai di Sungai Sariak. Kamis di Pakandangan. Sabtu di Pauah Kamba. Lebih kurang macam di Jakarta, ada Pasar Senen, Pasar Rebo, Pasar Jumat.

Di balai--tempat pertemuan orang--kisah Ungku Saliah tak habis-habisnya. Di tiap balai. Semasa kanak-kanak, bahkan hingga hari ini, bila sesekali pergi ngopi di balai, ada saja orang tua yang membuka kisah lama, meriwayatkan kesaktian Ungku Saliah.

Seperti baru-baru ini. Dikisahkan, Ungku Saliah ke balai hendak membeli sesuatu, tapi duitnya kurang, bila pedagang itu tidak memberikan maka sepanjang hari dagangannya tak akan laku.

Sebaliknya, bila si pedagang memberikan apa yang hendak di beli Ungku Saliah, meski duitnya kurang, maka dalam waktu singkat laris manis itu barang.

Cerita ini saya dapat di Balai Kamih Pakandangan. Meski diulang-ulang, tak bosan mendengarnya. Di balai-balai lain pun demikian.

Sebagaimana dikisahkan Bang Sof di Pasar Sungai Sariak. "Hampir semua pedagang di sana sudah tahu tabiat Ungku yang berbelanja seperti itu. Dan Ungku juga tidak mau menerima gratis jika ditawarkan."

Pun belanja sesuka hati, Ungku Saliah lebih sering tak mau mengambil uang kembalian bila uangnya berlebih. Jadi, sebetulnya dia tidak terlalu hirau akan uang.

Ketika berpulang pada suatu siang di tanggal 3 Agustus 1974, kata Bang Sof, kuburannya dibuat di dalam suraunya karena semasa hidup ia pernah berpesan, jika meninggal agar dikuburkan di mana ia meninggal.

Makamnya di Korong Lareh Nan Panjang, Nagari Sungai Sariak, masih sering diziarahi orang sampai sekarang. Orang sana menyebutnya Goboh Ungku Saliah.

Gusni Yunita, dari Antropologi Unand dalam skripsinya menulis, banyak masyarakat yang yakin akan keramatnya Ungku Saliah. Makamnya ramai diziarahi. Fotonya dipajang di tempat membuka usaha.

"Si pemajang foto Ungku Saliah akan selalu berfikiran positif tanpa ada kekhawatiran bahwa barang dagangan mereka tidak laku. Ketika memajang foto terdapat suatu perasaan tenang dan terlindungi karena sugesti dari foto Ungku Saliah tersebut."

Jadi, bila puan dan tuan mampir di rumah makan Padang, dan melihat potret kakek berkopiah (lihat foto) itulah Ungku Saliah. (wow/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Wallahu Alam…Seluruh Kitab Suci Turun Pada Bulan Ramadhan


Redaktur & Reporter : Wenri

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler