Hikmahanto: Rencana IPO Pertamina tak Perlu Dipersoalkan

Senin, 27 Juli 2020 – 17:51 WIB
Kantor Pusat Pertamina. Foto: Ricardo/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Pakar hukum internasional Universitas Indonesia, Profesor Hikmahanto menyoroti rencana initial public offering (IPO) subholding Pertamina.

Menurut Hikmahanto karena hanya sebagai pelaku bisnis, maka rencana IPO subholding Pertamina tak perlu dipersoalkan. Apalagi, lanjut Hikmahanto, yang akan masuk bursa saham adalah anak perusahaan di bawah Pertamina.

BACA JUGA: IPO Subholding Bakal Untungkan Pertamina

“Ketika perusahaan-perusahaan luar negeri yang beroperasi di Indonesia diperbolehkan go public, mengapa (rencana IPO) anak perusahaan Pertamina dipermasalahkan? Harusnya kan apple to apple.  Yang penting kita jaga di level PT Persero agar saham negara tetap 100 persen,” kata Hikmahanto dalam diskusi online, Senin (27/7).

Kedudukan Pertamina berdasarkan UU Nomor 22 tahun 2001, adalah persero di mana negara memiliki 100 persen saham.

BACA JUGA: Profesor Yusril Bicara Soal Subholding Pertamina

Sedangkan pada level bawahnya, Pertamina juga memiliki anak perusahaan seperti PT Pertamina Hulu Energi dan juga PT PGN.

“Kalau kita lihat, PGN juga sudah go public. Bahkan, sebelum berada di bawah Pertamina, yaitu ketika masih di bawah negara, PGN juga sudah go public. Mengapa dulu tidak dipermasalahkan?” tanya Hikmahanto lagi.

BACA JUGA: Benarkah IPO Subholding Dibentuk untuk Menjual Pertamina?

Menurut Hikmahanto, saat ini banyak perusahaan migas dunia yang sudah IPO. Bahkan tidak sedikit di antaranya, juga beroperasi di Indonesia.  Saudi Aramco, misalnya, pada 2019 melakukan IPO.

“Tujuannya  untuk mengurangi biaya pemerintah dalam menjalankan perusahaan. Begitu pula perusahaan-perusahaan lain seperti Exxon Mobil, juga sudah public listed company. Begitu juga PT Pertamina Persero. Kalau di bawah ini (anak perusahaan) kurang duit, masak minta ke negara lagi? Beban kan,” lanjutnya.

Sementara itu, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, bahwa rencana IPO subholding Pertamina hanya salah satu opsi.

Hal ini tak lepas dari aspirasi pemegang saham, bahwa Pertamina harus melakukan pengembangan bisnis. Dan dalam enam tahun ke depan, selain memperkuat bisnis saat ini, Pertamina diharapkan juga bisa shifting ke renewable energy yang membutuhkan Capex USD133 miliar.

Terkait kebutuhan Capex tersebut, imbuh Nicke, Pertamina sudah melakukan pemetaan. Hasilnya, 47 persen bisa diperoleh dari kemampuan internal, 15 persen dengan equity financing, 10 persen dari project financing, dan 28 persen dari eksternal fund.

“Untuk yang eksternal ini ada berbagai cara, yaitu bond, pinjaman perbankan dan IPO. Jadi IPO hanya salah satu cara, dengan plus dan minusnya,” jelas Nicke.

Mengapa tidak dengan bond saja?

“Karena bond berpotensi mengalami hit pada debt to equity ratio dan yang namanya pinjaman harus dikembalikan. Sedangkan IPO lebih fleksibel,  karena Pertamina tidak terdampak dari dept to equity ratio tadi. Jadi tidak harus mengembalikan pokok dari pinjaman,” jelas Nicke.

Rencana IPO tersebut, menurut Nicke, tak lepas dari restrukturisasi bisnis Pertamina guna menjawab tuntutan global megatrend di bidang energi.

Tidak hanya Pertamina yang merespons global megatrend, tetapi juga berbagai perusahaan migas dunia. Antara lain Chevron, Exxon Mobil, dan Conoco Philips. Begitu juga dengan BP, Shell, Total, dan sebagainya.

“Kita punya peran berbeda dari NOC negara lain. Dalam mengelola resources, Pertamina tetap menggunakan UUD 1945, UU BUMN, dan UU Energi sebagai acuan. Dari sana, diterjemahkan bahwa secara substansi, Pertamina sebagai BUMN bukan hanya mengejar keuntungan semata,” tandas Nicke.(chi/jpnn)


Redaktur & Reporter : Yessy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler