Hitler dan Ukraina

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Rabu, 04 Mei 2022 – 17:03 WIB
Pemandangan gedung tempat tinggal yang hancur pada serangan Rusia di Ukraina di kota Irpin, luar Kyiv, Ukraina, Jumat (29/4/2022). Gambar diambil menggunakan drone. REUTERS/Valentyn Ogirenko/WSJ/djo (REUTERS/VALENTYN OGIRENKO)

jpnn.com - Jagat politik internasional heboh gegara pernyataan Menteri Luar Negeri Rusia yang menyebutkan bahwa Adolf Hitler, penguasa Nazi Jerman, ialah keturunan Yahudi. 

Pernyataan yang dianggap anti-semit ini dikecam luas karena melecehkan orang Yahudi karena menganggap pembantaian terhadap orang Yahudi pada holocaust adalah buatan orang Yahudi sendiri. 

BACA JUGA: Romanchenko Selamat dari Adolf Hitler, Tewas di Tangan Vladimir Putin

Playing victim, bermain sebagai korban untuk mencari simpati dunia. Yahudi mencari pembenaran melalui holocaust untuk mencari legitimasi emigrasi ke Palestina dan mengeklaimnya sebagai tanah yang dijanjikan. 

Pendatang Yahudi itu kemudian menyingkirkan bangsa Palestina yang sudah berabad-abad tiggal di wilayah itu.

BACA JUGA: Benny K Harman Sebut Yusril Ihza Mahendra Mirip Hitler, Ada Apa?

Perang Rusia vs Ukraina belum ada tanda-tanda akan berakhir. Alih-alih mereda, malah makin panas. Rusia terus merangsek masuk ke wilayah Ukraina. Perang militer di mana pun selalu berkaitan dengan perang opini dan perang psikologi alias psy war.

Ukraina ingin menarik simpati dunia dengan memosisikan diri sebagai korban. Sementara Rusia menganggap perang ini sebagai ‘’urusan keluarga’’. Rusia tidak ingin keluarganya ini bergabung dengan NATO, Pakta Pertahanan Atlantik Utara, yang disponsori Amerika dan Eropa.

BACA JUGA: Ukraina: Pemerkosaan dan Pembunuhan Jadi Senjata Perang Rusia

Opini dunia terbelah. Ada yang menuding Rusia memainkan peran sebagai agresor yang didasari oleh semangat neo-nazisme. 

Tujuannya untuk menyingkirkan kekuatan politik Yahudi di Ukraina dengan simpul utama Presiden Volodymyr Zelensky yang memang keturunan Yahudi.

Dalam berbagai pernyataannya, Zelensky menempatkan diri sebagai kelompok yang dizalimi oleh Vladimir Putin. 

Meski tidak membuat referensi langsung mengenai kemunculan neo-nazisme di Rusia, tetapi Zelensky jelas ingin mencari simpati dunia dengan menempatkan dirinya sebagai korban agresi neo-nazi.

Sebaliknya, Rusia menyebut bahwa serangan ke Ukraina adalah bagian dari program ‘’denazifikasi’’ untuk menghilangkan pengaruh nazi di Ukraina yang dianggap telah menguasai ideologi mainstream negara itu.

Klaim Rusia ini terdengar sebagai paradoks karena populasi Yahudi di Ukraina cukup besar dan banyak elite politik Ukraina yang keturunan Yahudi. Bagaimana mungkin nazisme tumbuh subur di Ukraina kalau di negara itu Yahudi justru dominan? Rusia bergeming.

Rusia menganggap logika itu tidak relevan. Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan bahwa Adolf Hitler yang sangat membenci Yahudi itu ternyata adalah keturunan Yahudi dari kakek pihak ayahnya. 

Rusia ingin mengatakan bahwa holocaust adalah tragedi ciptaan Yahudi sendiri sebagai cara playing victim, menempatkan diri sebagai korban untuk menarik simpati dunia.

Komentar Lavrov ini memicu reaksi keras dari Ukraina dan Israel. Komentar itu dianggap sebagai upaya cuci tangan dari Rusia untuk mencari legitimasi serangannya atas Ukraina. 

Komentar yang berbau konspirasi itu dianggap sebagai upaya mendiskreditkan Israel dan upaya membebaskan pelaku holocaust dari tanggung jawab.

Selama ini, ada upaya untuk membangun opini bahwa serangan Rusia kepada Ukraina mempunyai motivasi anti-semitisme, anti-Yahudi.

Rusia justru dituding sebagai kekuatan neo-nazi yang ingin menggulingkan pemerintah Volodymir Zelensky yang sah. 

Ukraina menempatkan diri sebagai negara kecil yang menghadapi invasi negara besar yang ingin mencaploknya.

Logika ini juga mendapatkan respons balik dari negara-negara Islam yang mempertanyakan reaksi dunia yang begitu cepat dan keras terhadap invasi Rusia terhadap Ukraina. 

Di sisi lain, muncul pertanyaan mengapa dunia tidak memberikan reaksi yang sama terhadap invasi Israel yang dilakukan terhadap Palestina.

Selama Ramadan, konflik Palestina mengalami eskalasi dengan terjadinya serangan tentara Israel terhadap orang-orang Palestina yang ingin melakukan shalat di Masjid Alaqsa. Bangsa Palestina ingin mengirim pesan kepada dunia mengenai ketidakadilan yang masih terus berlangsung di Palestina.

Di tengah gejolak perang Rusia vs Ukraina, dunia seolah lupa terhadap masalah Palestina yang sampai sekarang tetap menjadi pertanyaan yang tidak terjawab. 

‘’The Question of Palestine’’ (1992) sebagaimana digaungkan oleh Edward Said sejak 30 tahun silam seolah menjadi teriakan dalam kegelapan yang tidak didengar oleh siapa pun.

Seluruh kisah invasi Zionis ke Palestina dan proklamasi diri Israel pada 1948 kemudian berputar di sekitar konstruksi ideologis yang akan berputar pada isu penyangkalan terhadap keberadaan rakyat Palestina. 

Dalam pandangan para pemimpin utama Zionis penduduk asli benar-benar diabaikan, atau didiskreditkan sebagai orang barbar yang tidak beradab.

Itulah cara pandang khas kaum kolonial terhadap negara jajahannya. Kolonialis Inggris menganggap Australia sebagai ‘’terra nulius’’ wilayah kosong yang boleh dikuasai tanpa mengindahkan keberadaan suku asli Aborigin. 

Tanah Amerika dianggap sebagai wilayah kosong, dan penduduk Indian asli boleh saja dimusnahkan dengan berbagai kekejaman yang tidak kalah dari holocaust.

Kolonialisme Palestina terkait dengan gagasan bahwa tugas orang Yahudi adalah merebut wilayah terbelakang dan terpencil untuk membangunnya kembali dengan fondasi mereka, dan memodernkannya. 

Hal ini paralel dengan pandangan radikal tentang misi peradaban yang diemban orang Eropa ketika melakukan kolonisasi ke Afrika, Asia, dan bagian dunia yang lain.

Pendudukan Palestina adalah bagian dari ‘kolonialisme rekonstruksi’, yang berarti bahwa organisasi politik dan ekonomi Israel harus mengesampingkan kerja sama apa pun dengan penduduk pribumi, dan hanya menempatkan pribumi pada posisi subordinat dan budak. 

Israel secara eksklusif hanya akan terbuka untuk semua orang Yahudi dari seluruh dunia, dan hanya khusus untuk orang Yahudi.

Perjuangan besar pertama yang harus dilakukan oleh orang-orang Palestina--setelah berdirinya Israel pada 1948--adalah perjuangan melawan penghapusan sejarah total mereka.

Tujuan utamanya adalah mengingatkan negara-negara Arab seperti Mesir, Yordania, dan Suriah, mengenai identitas kolektif mereka dan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri. 

Pengingkaran terhadap kehadiran suatu bangsa di negeri yang akan diambil alih adalah ciri khas gerakan Zionis, karena gerakan ini terkait erat dengan kekuatan kolonialisme Eropa.

Keterlibatan Inggris dalam pendirian negara Israel melalui Deklarasi Balfour membuktikan campur tangan kolonialisme Eropa terhadap penjajahan Palestina oleh gerakan Zionisme Yahudi.

Setelah lama mengincar Argentina, Afrika Selatan, atau Siprus sebagai pusat negara Yahudi, pilihan gerakan Zionis difokuskan pada Palestina, bukan karena alasan agama, tetapi karena keyakinan bahwa Palestina adalah sebuah tanah tanpa bangsa yang diperuntukkan bagi sebuah bangsa tanpa sebuah tanah.

Atas nama logika kolonial inilah pengasingan paksa sejumlah besar orang Palestina dimulai. 

Tidak kurang dari 700.000 diusir dari tanah kelahirannya. Pengasingan paksa ini dilakukan oleh organisasi teroris Zionis Stern Gang yang dipimpin oleh Menachem Begin. 

Dalam praktik terorisme yang paling kejam organisasi ini melakukan pembantaian penduduk lebih dari 250 desa.

Wilayah Israel semakin luas setelah menang dalam perang melawan negara-negara Arab pada 1967 atas bantuan langsung Amerika. 

Lebih dari 2 juta orang terusir dari tanah kelahirannya dan tanahnya kemudian dirampas oleh penjajah Israel. 

Yerusalem Timur, Jalur Gaza, dan Tepi Barat dicaplok Israel. Pemukiman Yahudi dibangun dan orang-orang Palestina diusir dan menjadi gelandangan tanpa tanah dan rumah.

Dosa asal Israel terletak pada sifat Zionis yang intrinsik yaitu penolakannya untuk hidup damai dengan rakyat Palestina, dan ambisinya untuk melakukan hegemoni dan dominasi dengan praktik represif, kolonialis, dan rasis.

Pendudukan Israel terhadap Palestina sudah berlangsung 70 tahun lebih dan belum ada solusi yang kongkret yang bisa diterima semua pihak. 

Prof. Edward Said adalah putra Palestina yang menjadi warga negara Amerika dan memperjuangkan hak-hak Palestina sepanjang karier akademiknya.

Ketika dunia berfokus kepada perang Rusia vs Ukraina, Palestina seolah terlupakan. Problem mengenai Palestina ‘’The Question of Palestine’’ seolah tidak pernah lagi dipertanyakan. (*)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler