HMI Dorong Realisasi BKC untuk Tingkatkan Green Economy dan Kualitas SDM

Jumat, 31 Desember 2021 – 20:11 WIB
Pejabat Ketua umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) Romadhon Jasn. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com, JAKARTA - Pejabat Ketua umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) Romadhon Jasn mengapresiasi Dirjen Bea dan Cukai (DJBC) yang sejak awal tahun telah berjuang mengusulkan ekstensifikasi BKC terhadap barang yang memiliki dampak buruk terhadap kesehatan atau lingkungan.

Barang dimaksud antara lain kantong plastik, minuman bergula dalam kemasan, dan emisi kendaraan.

BACA JUGA: Batu Akik Kena Pajak Karena Barang Mewah, Pedagang: Ada-ada Saja

Diketahui, Pemerintah dan DPR sepakat mematok target penerimaan cukai dalam UU APBN 2022 senilai Rp 203,92 triliun. Angka itu naik 13,2 persen dari target tahun 2021 yang senilai Rp 180,0 triliun.

“Dalam anggaran penerimaan perpajakan, pendapatan cukai produk plastik senilai dipatok sebesar Rp 1,9 triliun. Kemudian, pendapatan cukai minuman bergula dalam kemasan mencapai Rp 1,5 triliun,” kata Romadhon, Jumat (31/11).

BACA JUGA: Bea Cukai Bogor Bongkar Modus Pengiriman Barang Kena Cukai Ilegal, Ternyata

Dari target penerimaan cukai itu, lanjut dia, pemerintah berencana melakukan eksistensi barang kena cukai (BKC) sebagai upaya mengoptimalkan penerimaan pada tahun depan.

Meski belum semua usulan itu dapat disetujui, setidaknya ada dua rencana ekstensi BKC yang bisa terealisasi.

BACA JUGA: PB HMI Sampaikan Selamat Atas Terpilihnya Pimpinan Baru PBNU

Hal ini menurut Romadhon bisa dilihat dari rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) 104/2021.

“Itu menunjukkan upaya pemerintah untuk melakukan ekstensifikasi atau penambahan barang kena cukai baru,” ujarnya.

Romadhon menilai perencanaan target pendapatan cukai dari produk plastik dan minuman bergula dalam kemasan dalam rincian APBN 2022 itu sejalan dengan arah green economy atau ekonomi hijau untuk menciptakan ekonomi yang berkelanjutan.

Untuk plastik misalnya, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup.

“Sampah plastik ini dari dulu jadi masalah yang sulit dipecahkan. Kalau kita lihat data BPS (Badan Pusat Statistik) 2021, disebutkan limbah plastik Indonesia mencapai 66 juta ton per tahun. Sedangkan menurut studi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di tahun 2018 memperkirakan sekitar 0,26 juta-0,59 juta ton plastik ini mengalir ke laut. Ini, kan menyedihkan,” ungkap Romadhon.

Mengingat dampaknya yang begitu serius, Romadhon mengimbau agar pemerintah serius menerapkan kebijakan pengendalian plastik itu.

Namun demikian, dia menilai tugas pengendalian itu bukan tugas Bea Cukai semata. Kementerian/lembaga dan pemangku kepentingan terkait harus bersinergi untuk mewujudkannya.

Sementara itu untuk cukai cukai minuman bergula, Romadhon mengatakan, barang itu pun konsumsinya perlu dikendalikan.

Mengutip data Badan kesehatan Dunia (WHO), Romadhon menyebut, tahun 2015 WHO telah mengeluarkan peringatan akan bahaya new toxin yaitu dampak gula pada kesehatan.

“Konsumsi gula berlebih berkaitan erat dengan peningkatan berat badan yang tidak sehat (obesitas). Selanjutnya obesitas dapat memicu resistensi insulin yang merupakan penyebab utama penyakit diabetes tipe 2, dan lain-lain,” tegas dia.

Jika peredarannya tidak diawasi dan dibatasi maka hal ini berbahaya bagi masyarakat, terutama generasi muda yang saat ini memiliki mobilitas tinggi dan lebih menyukai yang praktis dan instan.

Keberhasilan itu, menurut Romadhon juga akan berdampak pada kualitas SDM Indonesia di masa mendatang.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler